“Emangnya
siapa yang minta aku tinggal disini?! Aku nggak pernah minta! Aku nggak pernah
pingin! Kenapa selalu aku yang disalahkan?!”
(Teriakan Wandi
kepada saya....dengan tatapan marah, namun sambil berlinang air mata....17 tahun yang lalu)
Masih
teringat jelas peristiwa yang terjadi 17 tahun yang lalu antara saya dan Wandi
(bukan nama sebenarnya), sepupu saya yang sejak berumur 4 tahun tinggal bersama
keluarga kami dan dianggap oleh orang tua kandung saya seperti anak
sendiri. Saat itu kami sedang
bertengkar, suatu hal yang tak jarang terjadi dalam keluarga kami setiap kali
berhubungan dengan Wandi. Ketika itu saya dan Wandi beradu mulut memperebutkan remote TV untuk menonton acara kesukaan
kami yang berbeda, namun karena Wandi adalah laki–laki yang usianya terpaut 3
tahun lebih tua dari saya (saat itu saya berusia 10 tahun) dan tentu saja
badannya lebih besar dari saya, maka saya pun tidak berani untuk melanjutkan
pertengkaran. Apalagi ketika saya lihat matanya penuh dengan rasa marah. Tapi,
saat itu saya selalu punya jurus jitu untuk membuatnya kalah telak, yang saya
tahu juga dilakukan oleh Ibu dan saudara–saudara kandung saya kecuali ayah,
yaitu dengan melontarkan kata–kata, “Emangnya
ini punya kamu?! Kamu kan cuma numpang disini!”. Dengan melontarkan
kata–kata ampuh tersebut, biasanya Wandi akan diam seribu bahasa dan lalu
menyerah kalah, namun saat itu saya dibuat terhenyak karena ternyata Wandi
membalas kata–kata saya. Wandi berujar dengan linangan air mata, “Emangnya siapa yang minta aku tinggal
disini?! Aku nggak pernah minta! Aku nggak pernah pingin! Kenapa selalu aku
yang disalahkan?!”.
Tujuh
belas tahun yang lalu kata–kata yang dilontarkan Wandi itu tidak banyak memberi
makna bagi saya. Persepsi saya dan keluarga terhadap kehadirannya dalam
keluarga kami tetap sama, yaitu sebagai “parasit” yang menyusahkan keluarga.
Bagaimana tidak, sejak kecil Wandi selalu susah diatur, inginnya menang sendiri
dan nilai–nilai pelajaran Wandi pun tidak ada yang bisa dibanggakan. Maka dari
itulah menurut kami sekeluarga label anak nakal paling cocok diberikan
untuknya, apalagi mengingat latar belakang keluarga Wandi yang berantakan. Ibu Wandi
yang suka “main laki–laki” dan ayah Wandi yang tidak bertanggungjawab meninggalkan
ibu Wandi saat masih mengandung Wandi. Semua itu membuat kami berkesimpulan
bahwa kenakalan Wandi adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dan dirubah
lagi karena dari bibitnya saja sudah
terbukti buruk. Saat itu kami juga selalu mencurigai Wandi sebagai biang keladi atas beberapa permasalahan
dalam keluarga kami. Semua kesalahanpun tak jarang sering dilimpahkan pada Wandi.
“Pasti ini gara–gara Wandi! Pasti ini dia
yang melakukan!”
Namun itu
dulu, karena semua berubah sejak memasuki bangku perkuliahan di fakultas
psikologi dan mendapatkan ilmu tentang perilaku manusia. Materi–materi
perkuliahan yang saya dapat membuat saya sadar bahwa telah banyak ketidakadilan
yang Wandi dapat selama hidup bersama keluarga kami. Ketika mendapatkan mata
kuliah psikologi perkembangan, ada salah
satu materi perkuliahan yang mengugah saya, yaitu tentang periode emas di lima
tahun pertama usia anak. Teori itu mengatakan bahwa usia balita merupakan
tahun–tahun keemasan dan harus dimanfaatkan dengan maksimal karena mempengaruhi
optimal tidaknya perkembangan anak di tahun–tahun berikutnya. Bila dalam
periode tersebut faktor keluarga dan lingkungan terdekat tidak memenuhi
kebutuhan anak dengan semestinya, maka akan mempengaruhi perkembangan anak di
tahun–tahun selanjutnya yang akan menjadi kurang optimal. Selain tentang
periode emas, pelajaran–pelajaran mengenai tumbuh kembang anak seperti mengenai
fungsi atau peran keluarga dan lingkungan terdekat bagi tumbuh kembang
anak, peran seorang ibu, kebutuhan anak
akan afeksi, penerimaan dan cinta yang tulus, juga membuat saya tergugah dan
membuat saya mulai introspeksi pada diri sendiri dan keluarga. Hal tersebut
membuat saya semakin memperhatikan masa kecil saya bersama dengan Wandi dan
awal mula Wandi dapat menjadi anak angkat di
keluarga kami, dan sejak itulah
saya mulai mengerti bahwa tidaklah bijaksana dan adil untuk hanya menyalahkan Wandi
atas semua kenakalannya selama ini.
Wandi
berusia 4 tahun saat pertama kali hadir dalam keluarga kami, yang berarti
termasuk dalam periode 5 tahun pertama yang sangat menentukan. Saya pun mulai
menyelami dunia Wandi dan membayangkan bagaimana bila saya berada di posisi Wandi
saat itu. Seorang anak usia 4 tahun yang hanya ingin merasakan kebahagiaan masa
kecil dan yang masih sangat butuh kasih sayang dari orang-orang terdekatnya,
namun tiba–tiba harus dipisahkan begitu saja dari sisi satu–satunya orang
tempat ia mengharap pemberian kasih sayang yang tulus, yaitu ibu kandungnya
sendiri. Sudah cukup berat bagi anak seusia Wandi saat itu dengan lahir tanpa
seorang ayah, lalu terpaksa berada dalam kondisi yang mengharuskannya berpisah
dari ibunya. Ditambah lagi saat itu Wandi harus bisa menerima hidup dengan
keluarga yang masih asing baginya. Keluarga yang Wandi tidak tahu apakah dapat
memberikan pelukan sehangat pelukan ibu kandungnya, apakah dapat memberikan
senyuman setulus senyuman ibu kandungnya dan apakah dapat membelainya selembut
belaian ibu kandungnya. Tidak! Ternyata tidak, karena saat itu, saat Wandi
hadir dalam keluarga kami, ada banyak pertentangan yang terjadi akibat ayah
saya tidak meminta persetujuan dahulu dari kami semua, istri dan anak–anaknya.
Cinta kami tidak pernah tulus terhadapnya. Ibu saya tidak mungkin bisa
memberikan kasih sayang pada Wandi sementara beliau tidak menyetujui kehadiran Wandi
dalam keluarga kami.
Betapa
sedih, menyesal dan merasa bersalah hati saya bila mengingat masa kecil ketika
saya dan dua saudara saya yang lain asyik bercengkerama dengan ayah dan ibu
sambil saling memeluk, sedangkan Wandi hanya berdiri dibalik tembok sambil
menatap kami dengan tatapan sedih. Juga saat saya dan saudara–saudara saya
tidak perduli dengan perasaan Wandi yang sedang butuh perhatian dan tanpa hati
mengatakan bahwa Wandi hanyalah anak angkat dan tidak punya siapa–siapa selain
dirinya sendiri.
Semua ini
saat itu menimbulkan kesadaran dalam diri saya bahwa kami sekeluarga telah
berlaku tidak adil terhadap hidup Wandi dan saya harus berjuang untuk
menyadarkan anggota keluarga saya yang lain atas semua kesalahan ini. Tapi saat
itu saya gagal menyadarkan keluarga saya, karena mereka anggap penjelasan saya
hanya dinilai sebagai teori belaka. Mereka tetap yakin bahwa segala kegagalan Wandi
dalam hidupnya saat ini adalah kesalahan Wandi sendiri, karena memang darah Wandi
adalah darah orang yang bernasib gagal dan tidak bisa diubah walau bagaimanapun
usaha seseorang untuk merubahnya. Selain itu kapasitas pemahaman ilmiah saya
tentang kondisi Wandi pun terbatas, sehingga penjelasan saya kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu sejak semester 2 (S1) saya sudah
memutuskan untuk memilih permasalahan hidup Wandi sebagai topik penelitian saya kelak.
Saat
pertama kali menjalankan penelitian, saya tidak tahu apa istilah yang tepat
untuk menamakan kondisi Wandi. Apakah benar, istilah anak angkat atau adopsi
cocok dengan situasi Wandi. Saat itu saya sedikit dibingungkan dengan
istilah–istilah serupa seperti anak asuh dan anak pungut. Beruntunglah setelah
mengkaji berdasarkan literatur–literatur yang ada, saya menemukan jawabannya.
Ternyata sebenarnya pengertian anak angkat, anak pungut dan anak adopsi adalah
sama, namun berbeda bila dibandingkan dengan perngertian anak asuh.
Bila dilihat dari definisinya, pengertian
anak angkat atau adopsi adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga, orangtua, walinya yang sah atau orang lain yang
bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan, sedangkan definisi anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang
atau lembaga untuk diberi bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan
kesehatannya karena orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya secara
wajar dengan tanpa mengalihkan kuasa asuh dari keluarga kandung ke keluarga
angkat (Suraatmaja, 2004).
Dari
definisi tersebut dapat dilihat perbedaan istilah antara anak asuh dengan anak
adopsi atau anak angkat. Perbedaan tersebut adalah bahwa pada pengangkatan anak
(adopsi atau pungut) terjadi pengalihan kuasa asuh dari keluarga kandung ke
keluarga angkat sehingga seluruh tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup
anak beralih ke tangan keluarga angkat. Sementara hal ini tidak terjadi pada
pengertian pengasuhan anak. Dalam pengasuhan anak, keluarga kandung masih memiliki
tanggung jawab penuh terhadap anak yang diasuh dan kedudukan keluarga asuh
hanya sebagai pihak pembantu pendanaan kebutuhan–kebutuhan hidup anak asuh.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka kondisi Wandi dapat dikategorikan dalam
pengertian anak angkat atau anak adopsi. Hal ini berdasarkan kondisi Wandi yang
dalam pengadopsiannya terdapat pengalihan kuasa asuh dari keluarga kandungnya
ke keluarga saya.
Berdasarkan
hal–hal tersebut di atas, untuk kemudahan pembahasan maka saya memutuskan untuk
memilih salah satu dari kedua istilah (anak adopsi atau anak angkat) yang
menggambarkan kasus Wandi, yaitu dengan istilah anak adopsi pada
tulisan-tulisan berikutnya.
(....bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar