Jumat, 11 Januari 2013

KISAH WANDI DAN ADOPSI KERABAT PART 1 By; 3us


“Emangnya siapa yang minta aku tinggal disini?! Aku nggak pernah minta! Aku nggak pernah pingin! Kenapa selalu aku yang disalahkan?!”


(Teriakan Wandi kepada saya....dengan tatapan marah, namun sambil  berlinang air mata....17 tahun yang lalu)

Masih teringat jelas peristiwa yang terjadi 17 tahun yang lalu antara saya dan Wandi (bukan nama sebenarnya), sepupu saya yang sejak berumur 4 tahun tinggal bersama keluarga kami dan dianggap oleh orang tua kandung saya seperti anak sendiri.  Saat itu kami sedang bertengkar, suatu hal yang tak jarang terjadi dalam keluarga kami setiap kali berhubungan dengan Wandi. Ketika itu saya dan Wandi beradu mulut memperebutkan remote TV untuk menonton acara kesukaan kami yang berbeda, namun karena Wandi adalah laki–laki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dari saya (saat itu saya berusia 10 tahun) dan tentu saja badannya lebih besar dari saya, maka saya pun tidak berani untuk melanjutkan pertengkaran. Apalagi ketika saya lihat matanya penuh dengan rasa marah. Tapi, saat itu saya selalu punya jurus jitu untuk membuatnya kalah telak, yang saya tahu juga dilakukan oleh Ibu dan saudara–saudara kandung saya kecuali ayah, yaitu dengan melontarkan kata–kata, “Emangnya ini punya kamu?! Kamu kan cuma numpang disini!”. Dengan melontarkan kata–kata ampuh tersebut, biasanya Wandi akan diam seribu bahasa dan lalu menyerah kalah, namun saat itu saya dibuat terhenyak karena ternyata Wandi membalas kata–kata saya. Wandi berujar dengan linangan air mata, “Emangnya siapa yang minta aku tinggal disini?! Aku nggak pernah minta! Aku nggak pernah pingin! Kenapa selalu aku yang disalahkan?!”.
Tujuh belas tahun yang lalu kata–kata yang dilontarkan Wandi itu tidak banyak memberi makna bagi saya. Persepsi saya dan keluarga terhadap kehadirannya dalam keluarga kami tetap sama, yaitu sebagai “parasit” yang menyusahkan keluarga. Bagaimana tidak, sejak kecil Wandi selalu susah diatur, inginnya menang sendiri dan nilai–nilai pelajaran Wandi pun tidak ada yang bisa dibanggakan. Maka dari itulah menurut kami sekeluarga label anak nakal paling cocok diberikan untuknya, apalagi mengingat latar belakang keluarga Wandi yang berantakan. Ibu Wandi yang suka “main laki–laki” dan ayah Wandi yang tidak bertanggungjawab meninggalkan ibu Wandi saat masih mengandung Wandi. Semua itu membuat kami berkesimpulan bahwa kenakalan Wandi adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dan dirubah lagi karena dari bibitnya saja sudah terbukti buruk. Saat itu kami juga selalu mencurigai Wandi sebagai biang keladi atas beberapa permasalahan dalam keluarga kami. Semua kesalahanpun tak jarang sering dilimpahkan pada Wandi. “Pasti ini gara–gara Wandi! Pasti ini dia yang melakukan!”
Namun itu dulu, karena semua berubah sejak memasuki bangku perkuliahan di fakultas psikologi dan mendapatkan ilmu tentang perilaku manusia. Materi–materi perkuliahan yang saya dapat membuat saya sadar bahwa telah banyak ketidakadilan yang Wandi dapat selama hidup bersama keluarga kami. Ketika mendapatkan mata kuliah psikologi perkembangan, ada  salah satu materi perkuliahan yang mengugah saya, yaitu tentang periode emas di lima tahun pertama usia anak. Teori itu mengatakan bahwa usia balita merupakan tahun–tahun keemasan dan harus dimanfaatkan dengan maksimal karena mempengaruhi optimal tidaknya perkembangan anak di tahun–tahun berikutnya. Bila dalam periode tersebut faktor keluarga dan lingkungan terdekat tidak memenuhi kebutuhan anak dengan semestinya, maka akan mempengaruhi perkembangan anak di tahun–tahun selanjutnya yang akan menjadi kurang optimal. Selain tentang periode emas, pelajaran–pelajaran mengenai tumbuh kembang anak seperti mengenai fungsi atau peran keluarga dan lingkungan terdekat bagi tumbuh kembang anak,  peran seorang ibu, kebutuhan anak akan afeksi, penerimaan dan cinta yang tulus, juga membuat saya tergugah dan membuat saya mulai introspeksi pada diri sendiri dan keluarga. Hal tersebut membuat saya semakin memperhatikan masa kecil saya bersama dengan Wandi dan awal mula Wandi dapat menjadi anak angkat di  keluarga kami, dan  sejak itulah saya mulai mengerti bahwa tidaklah bijaksana dan adil untuk hanya menyalahkan Wandi atas semua kenakalannya selama ini.
Wandi berusia 4 tahun saat pertama kali hadir dalam keluarga kami, yang berarti termasuk dalam periode 5 tahun pertama yang sangat menentukan. Saya pun mulai menyelami dunia Wandi dan membayangkan bagaimana bila saya berada di posisi Wandi saat itu. Seorang anak usia 4 tahun yang hanya ingin merasakan kebahagiaan masa kecil dan yang masih sangat butuh kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, namun tiba–tiba harus dipisahkan begitu saja dari sisi satu–satunya orang tempat ia mengharap pemberian kasih sayang yang tulus, yaitu ibu kandungnya sendiri. Sudah cukup berat bagi anak seusia Wandi saat itu dengan lahir tanpa seorang ayah, lalu terpaksa berada dalam kondisi yang mengharuskannya berpisah dari ibunya. Ditambah lagi saat itu Wandi harus bisa menerima hidup dengan keluarga yang masih asing baginya. Keluarga yang Wandi tidak tahu apakah dapat memberikan pelukan sehangat pelukan ibu kandungnya, apakah dapat memberikan senyuman setulus senyuman ibu kandungnya dan apakah dapat membelainya selembut belaian ibu kandungnya. Tidak! Ternyata tidak, karena saat itu, saat Wandi hadir dalam keluarga kami, ada banyak pertentangan yang terjadi akibat ayah saya tidak meminta persetujuan dahulu dari kami semua, istri dan anak–anaknya. Cinta kami tidak pernah tulus terhadapnya. Ibu saya tidak mungkin bisa memberikan kasih sayang pada Wandi sementara beliau tidak menyetujui kehadiran Wandi dalam keluarga kami.

Betapa sedih, menyesal dan merasa bersalah hati saya bila mengingat masa kecil ketika saya dan dua saudara saya yang lain asyik bercengkerama dengan ayah dan ibu sambil saling memeluk, sedangkan Wandi hanya berdiri dibalik tembok sambil menatap kami dengan tatapan sedih. Juga saat saya dan saudara–saudara saya tidak perduli dengan perasaan Wandi yang sedang butuh perhatian dan tanpa hati mengatakan bahwa Wandi hanyalah anak angkat dan tidak punya siapa–siapa selain dirinya sendiri.
Semua ini saat itu menimbulkan kesadaran dalam diri saya bahwa kami sekeluarga telah berlaku tidak adil terhadap hidup Wandi dan saya harus berjuang untuk menyadarkan anggota keluarga saya yang lain atas semua kesalahan ini. Tapi saat itu saya gagal menyadarkan keluarga saya, karena mereka anggap penjelasan saya hanya dinilai sebagai teori belaka. Mereka tetap yakin bahwa segala kegagalan Wandi dalam hidupnya saat ini adalah kesalahan Wandi sendiri, karena memang darah Wandi adalah darah orang yang bernasib gagal dan tidak bisa diubah walau bagaimanapun usaha seseorang untuk merubahnya. Selain itu kapasitas pemahaman ilmiah saya tentang kondisi Wandi pun terbatas, sehingga penjelasan saya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Maka dari itu sejak semester 2 (S1) saya sudah memutuskan untuk memilih permasalahan hidup Wandi sebagai  topik penelitian saya kelak.
Saat pertama kali menjalankan penelitian, saya tidak tahu apa istilah yang tepat untuk menamakan kondisi Wandi. Apakah benar, istilah anak angkat atau adopsi cocok dengan situasi Wandi. Saat itu saya sedikit dibingungkan dengan istilah–istilah serupa seperti anak asuh dan anak pungut. Beruntunglah setelah mengkaji berdasarkan literatur–literatur yang ada, saya menemukan jawabannya. Ternyata sebenarnya pengertian anak angkat, anak pungut dan anak adopsi adalah sama, namun berbeda bila dibandingkan dengan perngertian anak asuh.
  Bila dilihat dari definisinya, pengertian anak angkat atau adopsi adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, walinya yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, sedangkan definisi anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberi bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatannya karena orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya secara wajar dengan tanpa mengalihkan kuasa asuh dari keluarga kandung ke keluarga angkat (Suraatmaja, 2004).
Dari definisi tersebut dapat dilihat perbedaan istilah antara anak asuh dengan anak adopsi atau anak angkat. Perbedaan tersebut adalah bahwa pada pengangkatan anak (adopsi atau pungut) terjadi pengalihan kuasa asuh dari keluarga kandung ke keluarga angkat sehingga seluruh tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak beralih ke tangan keluarga angkat. Sementara hal ini tidak terjadi pada pengertian pengasuhan anak. Dalam pengasuhan anak, keluarga kandung masih memiliki tanggung jawab penuh terhadap anak yang diasuh dan kedudukan keluarga asuh hanya sebagai pihak pembantu pendanaan kebutuhan–kebutuhan hidup anak asuh. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kondisi Wandi dapat dikategorikan dalam pengertian anak angkat atau anak adopsi. Hal ini berdasarkan kondisi Wandi yang dalam pengadopsiannya terdapat pengalihan kuasa asuh dari keluarga kandungnya ke keluarga saya.
Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, untuk kemudahan pembahasan maka saya memutuskan untuk memilih salah satu dari kedua istilah (anak adopsi atau anak angkat) yang menggambarkan kasus Wandi, yaitu dengan istilah anak adopsi pada tulisan-tulisan berikutnya.  

(....bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar