Kamis, 21 Februari 2013

FENOMENA KEKERASAN GURU PADA MURID DI INDONESIA





“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku. Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu..Engkau sebagai pelita dalam kegelapan..Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan..Engkau patriot pahlawan bangsa...tanpa tanda jasa..”
(Sartono)

Masih ingat dengan lirik lagu diatas?Lirik lagu yang dihafal oleh para siswa-siswi negri ini sejak pendidikan dasar (SD) dan yang selalu diingat hingga dewasa. Lagu tersebut berisi tentang jasa para guru yang karena pengabdian dan pengorbanan mereka untuk mengajar anak didiknya dianggap begitu besar, maka layak dianugerahi gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini dapat dipahami dari besarnya peran profesi guru dalam mendidik dan membentuk generasi bangsa yang berkualitas, karena itu menjadi guru tentunya tidak bisa dilakukan secara “sembarangan” atau oleh “sembarang” orang. Guru harus merupakan produk pribadi yang juga berkualitas, baik dari segi intelektual maupun kepribadian. Hal ini dikarenakan, anak didik dari guru-guru inilah yang kelak akan memegang tali kemudi bangsa ini. Bila ingin melihat hasil didikan yang baik, bukankah kualitas pendidik yang dipunyaipun harus baik?
Berbeda dengan kenyatan yang kini terjadi, dewasa ini banyak terdengar tentang kualitas guru yang semakin lama semakin menurun. Bahkan, menurut penulisan yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, dari seluruh guru yang ada di Indonesia hanya sekitar 23% yang dinilai layak secara kualitas (http://waspada.co.id/serba_serbi/pendidikan, 2005). Kenyataan ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa guru-lah pemegang peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa.
Berkaitan dengan makna “guru yang berkualitas”, pada umumnya guru yang berkualitas diartikan sebagai guru yang mengajarnya dimengerti, wawasan keilmuannya baik, memiliki suri tauladan bagi pendidikan moral muridnya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, serta punya semangat totalitas bagi pendidikan (Muchtaridi, 2004), sedangkan hal tersebut kini semakin sulit saja ditemui oleh seorang murid dari sosok gurunya.
Sulitnya menemukan sosok guru ideal yang berkualitas ditunjukkan dengan banyaknya fakta-fakta yang beredar mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya di negeri ini. Kekerasan yang dimaksud adalah berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh  Charters (dalam Anshori, 2008) dan Salim (1991&1987) diartikan sebagai tindakan keras (baik fisik maupun non fisik) yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau dengan tujuan mendidik yang menimbulkan luka fisik maupun psikis.
Berdasarkan definisi kekerasan di atas, maka jenis-jenis kekerasan dibagi menjadi 2 macam (Anshori, dalam www.kpai.or.id, 2006), yaitu: kekerasan fisik dan non fisik. Contoh kekerasan fisik adalah: penghukuman, penganiayaan, pemukulan, pemerkosaan (Sudaryono, 2008), dll. Sedangkan contoh kekerasan non fisik dibagi menjadi 2, yaitu verbal dan psikis (SEJIWA, 2008). Contoh kekerasan non fisik verbal adalah: memaki, membentak, menghina, dll. Contoh kekerasan non fisik psikis adalah: memandang sinis, memandang merendahkan, mengucilkan, mengabaikan, mempermalukan, dll.
Berikut adalah sebagian dari data-data yang penulis peroleh dari beberapa sumber baik media cetak maupun elektronik mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, yaitu sebagai berikut:


Seorang murid kelas IV SD bernama Alan Anarki, berusia 8 tahun, tidak mampu memenuhi harapan guru kelasnya karena tidak mampu mengerjakan perkalian 7. Karena ketidakmampuannya ini, teman-teman sekelasnya yang berjumlah 29 orang diminta memukuli Alan dengan mistar. Penyiksaan ini membuat Alan terkencing dan muntah, dan ironisnya penyiksaan ini dilakukan teman-teman sekelasnya atas perintah gurunya sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS hl.104, 2004).

Karena tidak mengerjakan PR, 8 (delapan) siswa kelas IV SD di hukum di depan kelas dalam keadaan setengah bugil. Mereka berjalan dengan terseok-seok karena calana dan rok seragam mereka melorot sampai batas mata kaki. Hukuman ini merupakan perintah langsung dari guru mereka sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS hl.104, 2004).

Seorang siswa dijewer dan ditendang pakai sepatu lars oleh wakil Kepala sekolah dikarenakan seragam yang dipakai tidak sesuai ketentuan. Akibatnya siswa yang besangkutant harus dirawat di Puskesmas akibat kekerasan yang diterimanya tersebut.
(Sumber: SOLO POS 23 Juli 2008).

Fakta-fakta di atas adalah sebagian kecil dari kondisi yang menunjukkan bahwa begitu mengkhawatirkannya kekerasan yang dilakukan oleh guru pada muridnya yang tentunya berdampak sangat buruk bagi kesehatan fisik dan psikologis murid-murid tersebut. Adapun fakta lain yang dapat memperkuat nyatanya kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya di negri ini adalah ada pada hasil penulisan yang dilakukan  UNICEF pada tahun 2006 (Susilowati, dalam http://bksma2semarang.blog2.plasa.com, 2008) di beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa adalah dilakukan oleh guru.
Fakta lain yang juga menunjukkan bukti bahwa kasus kekerasan yang dilakukan guru begitu mengkhawatirkannya karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, adalah berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak (KPA), yang menyatakan bahwa pada tahun 2006 ada sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah yang dilakukan oleh guru. Jumlah ini meningkat menjadi 226 kasus pada Januari sampai dengan April 2007 (dalam http://www.ypha.or.id/information, 2007).


Fakta-fakta di atas tentunya menimbulkan perasaan cemas dan pilu bagi siapapun yang mengetahuinya terutama para orangtua yang putra-putrinya bersekolah, karena tentunya apa yang tertulis di atas hanya sebagian kecil dari fakta-fakta yang ada. Bahkan kemungkinan besar ada ratusan fakta lagi yang tidak terdeteksi media maupun pemerintah akan kasus kekekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya ini, seperti juga yang pernah penulis alami.
Teringat kembali akan beberapa peristiwa di dalam kelas ketika penulis duduk di bangku SD. Entah berapa kali dalam sehari penulis menyaksikan tindak kekerasan seorang guru terhadap teman penulis yang berperilaku “buruk” khas anak-anak atau yang dipandang guru tersebut tidak berprestasi. Mulai dari kekerasan non fisik seperti memaki, mencaci, melabel negatif hingga aksi kekerasan fisik seperti menampar, membanting tubuh hingga bangku kelas patah, membenturkan kepala ke tembok hingga mencubit paha dan tangan sampai membiru. Hal ini terjadi pada setiap murid yang dinilai guru melakukan kesalahan atau berperilaku tidak baik. Untuk murid yang melakukan kesalahan saja, seperti salah menjawab pertanyaan, salah mengerjakan tugas atau mendapat nilai yang jelek biasanya tindak kekerasan yang dilakukan guru penulis hanya berupa ungkapan verbal seperti menghina dengan kata-kata dan kalimat yang menjatuhkan mental murid yang bersangkutan. Belum lagi bila ada murid yang berperilaku tidak tertib seperti ramai di kelas, terlibat perkelahian, tertangkap basah mencontek, atau mencuri, tindak kekerasan yang biasanya dilakukan guru adalah secara fisik, seperti mencubit, menjewer, menampar, bahkan menjambak.  Semua itu membuat para murid termasuk penulis menjadi begitu sangat takut untuk mengungkapkan pendapat, untuk aktif dalam proses belajar mengajar di kelas karena takut salah yang dipastikan hukumannya adalah mendapat perlakuan kasar dari guru. Akhirnya para muridpun harus terpasung kekreatifitasan dan potensinya hanya karena suasana belajar mengajar yang “horor”.
Bila membahas mengenai kasus kekerasan guru terhadap murid-muridnya ini, menurut penulis berdasarkan analisis berbagai macam kasus yang terjadi, sebenarnya tindak kekerasan yang dilakukan guru cenderung lebih sering dilakukan secara non fisik (verbal&psikis) daripada secara fisik. Hal ini disebabkan bila perlakuan kasar secara fisik terjadi hal tersebut dianggap sudah melakukan tindak kriminal, apalagi bila sampai menimbulkan luka dan kematian. Berbeda bila tindak kekerasan dilakukan secara non fisik. Tindak kekerasan secara non fisik dianggap bukan suatu bentuk kekerasan karena dianggap sebagai suatu hal yang tidak melanggar hukum karena dampak buruknya tidak tampak langsung dan tidak mudah terdeteksi. Padahal justru kekerasan non fisik bisa menimbulkan luka psikis (mental) yang lebih sulit sembuh bila dibandingkan dengan luka fisik.
Pendapat penulis di atas mengenai lebih seringnya kekerasan non fisik dilakukan guru daripada jenis kekerasan lainnya diperkuat oleh hasil penulisan KPA (dalam http://www.ypha.or.id/information, 2007). Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa pada tahun 2006 ada sebanyak 15,10% kekerasan fisik yang dilakukan oleh guru terhadap murid, sedangkan 34,9% adalah berupa kekerasan seksual, dan yang tertinggi yaitu 50% adalah berupa kekerasan psikis, lalu pada tahun 2007 angka terjadinya kekerasan psikis mengalami peningkatan besar, yaitu 80% dengan bentuk kekerasan adalah: mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan dan menyamakan seperti binatang.
Berdasarkan fakta di atas, maka dapat diketahui bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru lebih sering dilakukan dalam bentuk non fisik daripada fisik, dan justru kekerasan non fisik yang dilakukan sering tidak dilaporkan. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari bukti atau karena baik pemerintah, masyarakat atau komunitas guru pun tidak menganggap kekerasan jenis tersebut (non fisik) adalah hal yang salah (Nurhamida dalam http://www.kksp.or.id, 2008). Mungkin baru akan mendapat perhatian bila kekerasan yang dilakukan berupa kekerasan fisik yang menimbulkan bekas luka hingga harus dirawat secara medis atau bila kekerasan yang dilakukan tersebut sampai menimbulkan kematian pada korbannya (murid).
            Seperti yang terjadi  pada informan penulisan ini, yaitu INA yang berprofesi sebagai guru. Pada saat observasi yang dilakukan oleh penulis di dalam kelasnya ketika INA mengajar, penulis menemukan begitu banyak kekerasan non fisik yang INA lakukan terhadap anak didiknya. Berikut adalah kutipan sebagian kecil dari banyaknya kekerasan non fisik yang INA lakukan terhadap beberapa muridnya:

“Opo’o kon nggarai D?! Pikirmu koen  nggak lolak-lolok  pisan  ta? Wong lolak-lolok yoan kok. Kenggantengen tah kowe?Iyo?!!kenggantengen tah?!Alaah aku tahu kok wong bapakmu ae ngarani koen xxx (tidak begitu jelas terdengar)!”
(Dikatakan INA terhadap FP yang terlibat adu mulut dengan D/Observasi di SDNX3, Sabtu 12/4/2008).

Di 30 menit sebelum pelajaran bahasa daerah berakhir, murid-murid berkata pada INA, “Bu! J nangis bu!!”. Penulis pun melihat J sedang menelungkupkan seluruh wajahnya diatas kedua tangannya yang dilipat diatas meja. Wajah J tampak merah dan basah oleh air mata. Namun, reaksi INA adalah, “Loh..lapo nangis?!Lapo?!” (sambil berjalan menuju tempat duduk J). Lalu J berkata dengan suara lirih, “Sakit bu..nggak enak badan”. INA pun memegang dahi J lalu berkata dengan suara keras, “Opone sing sakit, nggak popo ngene loh. Mbujuk  yo koen?!”. J pun semakin menangis, namun tanpa suara. Lalu INA berujar dengan nada tinggi dan tanpa tersenyum, “lek ancene sakit, lapo sekolah?! Turu ae nang omah, nggak usah sekolah!. Alah..paling gara-gara pelajaran bahasa daerah, wedi de’e...mangkane pura-pura loro (sakit)!! Wis mulihe kono!”. INA pun kembali ke tempat duduknya, dan J masih belum beranjak walaupun sudah disuruh pulang. Kemudian INA berkata pada seluruh muridnya, “Aku iku nggak seneng arek gembengan. Lek loro iku yo nggak usah nangis. Koyok digepuk ae. Engkok disangkakno digepuk bu INA. Saiki wis gedhe, lek loro yo nggak usah masuk sekolah!”.
(Observasi di SDNX3/INA/ Selasa, 22/7/2008).

Hasil observasi di atas adalah suatu fakta yang memilukan, dan ironisnya ditunjukkan INA secara terbuka di depan penulis. INA sudah terbukti melakukan kekerasan non fisik dengan cara membentak, menghina, menganggap bodoh dan mengabaikan muridnya secara terang-terangan. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan non fisik yang dilakukan tidak dianggap INA sebagai suatu kesalahan atau suatu bentuk kekerasan. Seperti para guru lain yang melakukan tindak kekerasan serupa, INA menganggap apa yang dilakukannya sebagai hal yang wajar guna mendisiplinkan anak-anak didiknya.
Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Seto Mulyadi atau lebih dikenal dalam dunia psikologi negeri ini sebagai “Kak Seto”, yang menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak sekolah atau guru yang berdalih melakukan kekerasan kepada siswanya dengan alasan pendisiplinan (dalam http://www.ypha.or.id/information, 2007). Fakta tersebut diperkuat dari hasil penulisan yang dilakukan oleh KPA dalam situs yang sama, yang menyatakan bahwa sebanyak 54% alasan seorang guru melakukan tindak kekerasan terhadap muridnya adalah karena pendisiplinan.
Alasan pendisiplinan yang melandasi dilakukannya tindak kekerasan dari guru terhadap murid tidak dapat dibenarkan (Gordon, 1997). Gordon menilai paradigma itu salah kaprah, karena tidak ada kaitannya antara disiplin dengan kekerasan. Sekolah memang harus menerapkan disiplin bagi guru-guru maupun siswa, tapi disiplin itu tidak identik dengan kekerasan. Untuk menerapkannya bisa dilakukan dengan komunikasi dan tidak dengan cara menyakiti. Bila hal ini dibiarkan terus menerus akan memiliki dampak yang buruk bagi perkembangan mental dan kepribadian anak di kemudian hari. Novianty (2008) mengungkapkan bahwa, anak yang mengalami pendidikan dengan kekerasan bukan saja akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, pencemas dan kurang kreatif, namun mereka akan mempelajari kekerasan yang mereka terima dan pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian mereka. Mereka akan menjadi pribadi yang menghalalkan tindak kekerasan juga.
Melihat fakta-fakta di atas dapat dicermati bahwa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid sering terjadi di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan karena pada tingkat SD kinerja guru adalah yang terberat bila dibandingkan dengan guru di tingkat pendidikan lain seperti SMP dan SMA. Bila tugas guru SMP dan SMA hanya mengajar satu mata pelajaran saja (karena tiap pelajaran ditangani oleh guru yang berbeda), maka tugas guru SD adalah mengajar semua mata pelajaran. Selain itu bukan hanya tugas mengajar saja yang dibebankan kepada guru SD, tugas mendidikpun menjadi tanggungjawab guru SD. Arti dari mendidik disini adalah ikut andil dalam menciptakan kebagusan moral dan kepribadian murid.
Menonjolnya aksi kekerasan guru terhadap murid pada jenjang pendidikan SD diperkuat oleh data hasil survey yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama 2 tahun terakhir (2006-2007) yang menyebutkan bahwa peristiwa terbanyak yang terjadi dalam kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid ini terjadi di jenjang pendidikan SD (Rukmorini, dalam http://kompas.co.id/read/xml, 2008). Ditambah lagi menurut catatan Depdiknas mengenai mutu guru-guru SD yang ada di tanah air, hanya 38% yang memenuhi syarat layak mengajar (Kompas, 25 Januari 2001).
Fenomena kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat mengenai apa yang melatarbelakangi hal tersebut?faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang guru yang seharusnya menjadi suri tauladan murid-muridnya justru melakukan tindakan amoral yaitu berupa kekerasan terhadap murid-muridnya?
Susilowati (dalam www.e_psikologi.net, 2008) mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan seorang guru melakukan tindak kekerasan terhadap murid-muridnya yaitu adalah; 1) karena kurangnya pengetahuan guru tersebut tentang dampak negatif dilakukannya tindak kekerasan terhadap murid-muridnya, 2) adanya persepsi yang parsial dalam menilai siswa, 3) adanya tekanan kerja, 4) adanya masalah psikologis terkait dengan gangguan emosi, 5) pola authoritarian dalam mengajar, dan 6) muatan kurikulum yang menekan.

Peace, 3us ^_^


1 komentar:

  1. Pengalaman nyata:
    ini dirasakan anak saya sendiri! Dimana anak saya diminta mengerjakan ujian di buku tulis 32 lembar. Sementara buku yang saya belikan 50 lembar, karena kebetulan saya tidak ingat buku 32 lembar. Ujian dikerjakan anak saya dalam buku 50 lembar, Anak saya mengumpulkan ujian kepada guru. Guru tidak memberi nilai. Anak bertanya, kenapa ujian saya tidak di nilai pak? Pak guru langsung melemparkan buku anak saya ke lantai ruang kelas. Saya menjumpai guru dan minta maaf atas kesalahan buku yang saya beli, dengan berkata, "selamat siang pak guru terhormat" saya salut dengan pendidikan bapak, melemparkan buku anak saya, saya mohon maaf atas kesalahan saya. Tetapi jawaban guru tersebut, itu hanya menguji kesabaran anak. Sementara dalam laporan bulanan anak saya diberi nilai tidak tuntas, guru tidak menilai, Apakah masih ada guru di daerah saudara seperti yang kami alami ini. Sekolah bergensi, uang sekolah selangit, lain tete bengetnya lagi. Spidol di kelas harus murid yang membawa, saya heran?

    BalasHapus