“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku. Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu..Engkau sebagai pelita dalam kegelapan..Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan..Engkau patriot pahlawan bangsa...tanpa tanda jasa..”
(Sartono)
Masih ingat dengan lirik lagu diatas?Lirik
lagu yang dihafal oleh para siswa-siswi negri ini sejak pendidikan dasar (SD)
dan yang selalu diingat hingga dewasa. Lagu tersebut berisi tentang jasa para
guru yang karena pengabdian dan pengorbanan mereka untuk mengajar anak didiknya
dianggap begitu besar, maka layak dianugerahi gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Hal
ini dapat dipahami dari besarnya peran profesi guru
dalam mendidik dan membentuk generasi bangsa yang berkualitas, karena itu
menjadi guru tentunya tidak bisa dilakukan secara “sembarangan” atau oleh “sembarang”
orang. Guru harus merupakan produk pribadi yang juga berkualitas, baik dari segi
intelektual maupun kepribadian. Hal ini dikarenakan, anak didik dari guru-guru
inilah yang kelak akan memegang tali kemudi bangsa ini. Bila ingin melihat
hasil didikan yang baik, bukankah kualitas pendidik yang dipunyaipun harus baik?
Berbeda dengan kenyatan
yang kini terjadi, dewasa ini banyak terdengar tentang kualitas guru yang
semakin lama semakin menurun. Bahkan, menurut penulisan yang dilakukan oleh
Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, dari seluruh guru yang ada di Indonesia
hanya sekitar 23% yang dinilai layak secara kualitas (http://waspada.co.id/serba_serbi/pendidikan, 2005). Kenyataan ini sangat memprihatinkan mengingat
bahwa guru-lah pemegang peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa.
Berkaitan dengan
makna “guru yang berkualitas”, pada umumnya guru yang berkualitas diartikan sebagai
guru yang mengajarnya dimengerti, wawasan keilmuannya baik, memiliki suri tauladan
bagi pendidikan moral muridnya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, serta punya semangat
totalitas bagi pendidikan (Muchtaridi, 2004), sedangkan
hal tersebut kini semakin sulit saja ditemui oleh seorang murid dari sosok gurunya.
Sulitnya menemukan sosok guru
ideal yang berkualitas ditunjukkan dengan banyaknya fakta-fakta yang beredar mengenai
kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya di negeri ini.
Kekerasan yang dimaksud adalah berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh Charters (dalam Anshori, 2008) dan Salim
(1991&1987) diartikan sebagai tindakan keras (baik fisik maupun non fisik)
yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau
dengan tujuan mendidik yang menimbulkan luka fisik maupun psikis.
Berdasarkan definisi kekerasan di atas,
maka jenis-jenis kekerasan dibagi menjadi 2 macam (Anshori, dalam www.kpai.or.id, 2006), yaitu: kekerasan fisik
dan non fisik. Contoh kekerasan fisik adalah: penghukuman, penganiayaan,
pemukulan, pemerkosaan (Sudaryono, 2008), dll. Sedangkan contoh kekerasan non
fisik dibagi menjadi 2, yaitu verbal dan psikis (SEJIWA, 2008). Contoh
kekerasan non fisik verbal adalah: memaki, membentak, menghina, dll. Contoh
kekerasan non fisik psikis adalah: memandang sinis, memandang merendahkan,
mengucilkan, mengabaikan, mempermalukan, dll.
Berikut adalah sebagian dari data-data
yang penulis peroleh dari beberapa sumber baik media cetak maupun elektronik
mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, yaitu sebagai
berikut:
Seorang murid kelas IV SD bernama Alan
Anarki, berusia 8 tahun, tidak mampu memenuhi harapan guru kelasnya karena
tidak mampu mengerjakan perkalian 7. Karena ketidakmampuannya ini, teman-teman
sekelasnya yang berjumlah 29 orang diminta memukuli Alan dengan mistar. Penyiksaan
ini membuat Alan terkencing dan muntah, dan ironisnya penyiksaan ini dilakukan
teman-teman sekelasnya atas perintah gurunya sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS
hl.104, 2004).
Karena tidak mengerjakan PR, 8 (delapan)
siswa kelas IV SD di hukum di depan kelas dalam keadaan setengah bugil. Mereka
berjalan dengan terseok-seok karena calana dan rok seragam mereka melorot
sampai batas mata kaki. Hukuman ini merupakan perintah langsung dari guru
mereka sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS
hl.104, 2004).
Seorang
siswa dijewer dan ditendang pakai sepatu lars oleh wakil Kepala sekolah
dikarenakan seragam yang dipakai tidak sesuai ketentuan. Akibatnya siswa yang
besangkutant harus dirawat di Puskesmas akibat kekerasan yang diterimanya
tersebut.
(Sumber: SOLO POS 23 Juli 2008).
Fakta-fakta di atas adalah sebagian kecil
dari kondisi yang menunjukkan bahwa begitu mengkhawatirkannya kekerasan yang
dilakukan oleh guru pada muridnya yang tentunya berdampak sangat buruk bagi
kesehatan fisik dan psikologis murid-murid tersebut. Adapun fakta lain yang
dapat memperkuat nyatanya kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap
muridnya di negri ini adalah ada pada hasil penulisan yang dilakukan UNICEF pada tahun 2006 (Susilowati, dalam http://bksma2semarang.blog2.plasa.com,
2008) di beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan bahwa sekitar 80%
kekerasan yang terjadi pada siswa adalah dilakukan oleh guru.
Fakta lain yang juga menunjukkan bukti
bahwa kasus kekerasan yang dilakukan guru begitu mengkhawatirkannya karena
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, adalah berdasarkan laporan yang
masuk ke Komnas Perlindungan Anak (KPA), yang menyatakan bahwa pada tahun 2006
ada sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah yang dilakukan oleh
guru. Jumlah ini meningkat menjadi 226 kasus pada Januari sampai dengan April
2007 (dalam http://www.ypha.or.id/information,
2007).
Fakta-fakta di atas tentunya menimbulkan
perasaan cemas dan pilu bagi siapapun yang mengetahuinya terutama para orangtua
yang putra-putrinya bersekolah, karena tentunya apa yang tertulis di atas hanya
sebagian kecil dari fakta-fakta yang ada. Bahkan kemungkinan besar ada ratusan
fakta lagi yang tidak terdeteksi media maupun pemerintah akan kasus kekekerasan
yang dilakukan guru terhadap muridnya ini, seperti juga yang pernah penulis
alami.
Teringat kembali akan beberapa peristiwa
di dalam kelas ketika penulis duduk di bangku SD. Entah berapa kali dalam
sehari penulis menyaksikan tindak kekerasan seorang guru terhadap teman penulis
yang berperilaku “buruk” khas anak-anak atau yang dipandang guru tersebut tidak
berprestasi. Mulai dari kekerasan non fisik seperti memaki, mencaci, melabel
negatif hingga aksi kekerasan fisik seperti menampar, membanting tubuh hingga
bangku kelas patah, membenturkan kepala ke tembok hingga mencubit paha dan
tangan sampai membiru. Hal ini terjadi pada setiap murid yang dinilai guru
melakukan kesalahan atau berperilaku tidak baik. Untuk murid yang melakukan
kesalahan saja, seperti salah menjawab pertanyaan, salah mengerjakan tugas atau
mendapat nilai yang jelek biasanya tindak kekerasan yang dilakukan guru penulis
hanya berupa ungkapan verbal seperti menghina dengan kata-kata dan kalimat yang
menjatuhkan mental murid yang bersangkutan. Belum lagi bila ada murid yang
berperilaku tidak tertib seperti ramai di kelas, terlibat perkelahian,
tertangkap basah mencontek, atau mencuri, tindak kekerasan yang biasanya
dilakukan guru adalah secara fisik, seperti mencubit, menjewer, menampar,
bahkan menjambak. Semua itu membuat para
murid termasuk penulis menjadi begitu sangat takut untuk mengungkapkan
pendapat, untuk aktif dalam proses belajar mengajar di kelas karena takut salah
yang dipastikan hukumannya adalah mendapat perlakuan kasar dari guru. Akhirnya
para muridpun harus terpasung kekreatifitasan dan potensinya hanya karena
suasana belajar mengajar yang “horor”.
Bila membahas mengenai kasus kekerasan
guru terhadap murid-muridnya ini, menurut penulis berdasarkan analisis berbagai
macam kasus yang terjadi, sebenarnya tindak kekerasan yang dilakukan guru cenderung
lebih sering dilakukan secara non fisik (verbal&psikis) daripada secara fisik.
Hal ini disebabkan bila perlakuan kasar secara fisik terjadi hal tersebut
dianggap sudah melakukan tindak kriminal, apalagi bila sampai menimbulkan luka
dan kematian. Berbeda bila tindak kekerasan dilakukan secara non fisik. Tindak
kekerasan secara non fisik dianggap bukan suatu bentuk kekerasan karena dianggap
sebagai suatu hal yang tidak melanggar hukum karena dampak buruknya tidak
tampak langsung dan tidak mudah terdeteksi. Padahal justru kekerasan non fisik
bisa menimbulkan luka psikis (mental) yang lebih sulit sembuh bila dibandingkan
dengan luka fisik.
Pendapat penulis di atas mengenai lebih
seringnya kekerasan non fisik dilakukan guru daripada jenis kekerasan lainnya diperkuat
oleh hasil penulisan KPA (dalam http://www.ypha.or.id/information, 2007). Sekjen
KPA, Arist Merdeka Sirait menyatakan bahwa pada tahun 2006 ada sebanyak 15,10% kekerasan
fisik yang dilakukan oleh guru terhadap murid, sedangkan 34,9% adalah berupa kekerasan
seksual, dan yang tertinggi yaitu 50% adalah berupa kekerasan psikis, lalu pada
tahun 2007 angka terjadinya kekerasan psikis mengalami peningkatan besar, yaitu
80% dengan bentuk kekerasan adalah: mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan,
mendiskriminasikan dan menyamakan seperti binatang.
Berdasarkan fakta di atas, maka dapat
diketahui bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru lebih sering dilakukan dalam
bentuk non fisik daripada fisik, dan justru kekerasan non fisik yang dilakukan
sering tidak dilaporkan. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari bukti atau karena
baik pemerintah, masyarakat atau komunitas guru pun tidak menganggap kekerasan
jenis tersebut (non fisik) adalah hal yang salah (Nurhamida dalam http://www.kksp.or.id, 2008). Mungkin baru
akan mendapat perhatian bila kekerasan yang dilakukan berupa kekerasan fisik
yang menimbulkan bekas luka hingga harus dirawat secara medis atau bila
kekerasan yang dilakukan tersebut sampai menimbulkan kematian pada korbannya
(murid).
Seperti
yang terjadi pada informan penulisan
ini, yaitu INA yang berprofesi sebagai guru. Pada saat observasi yang dilakukan
oleh penulis di dalam kelasnya ketika INA mengajar, penulis menemukan begitu
banyak kekerasan non fisik yang INA lakukan terhadap anak didiknya. Berikut
adalah kutipan sebagian kecil dari banyaknya kekerasan non fisik yang INA
lakukan terhadap beberapa muridnya:
“Opo’o kon
nggarai D?! Pikirmu koen nggak
lolak-lolok pisan ta? Wong lolak-lolok yoan kok. Kenggantengen
tah kowe?Iyo?!!kenggantengen tah?!Alaah aku tahu kok wong bapakmu ae ngarani
koen xxx (tidak begitu jelas terdengar)!”
(Dikatakan INA terhadap FP yang
terlibat adu mulut dengan D/Observasi di SDNX3, Sabtu 12/4/2008).
Di 30 menit sebelum pelajaran
bahasa daerah berakhir, murid-murid berkata pada INA, “Bu! J nangis bu!!”. Penulis pun melihat J sedang menelungkupkan
seluruh wajahnya diatas kedua tangannya yang dilipat diatas meja. Wajah J
tampak merah dan basah oleh air mata. Namun, reaksi INA adalah, “Loh..lapo nangis?!Lapo?!” (sambil
berjalan menuju tempat duduk J). Lalu J berkata dengan suara lirih, “Sakit bu..nggak enak badan”. INA pun
memegang dahi J lalu berkata dengan suara keras, “Opone sing sakit, nggak popo ngene loh. Mbujuk yo koen?!”. J pun semakin menangis, namun
tanpa suara. Lalu INA berujar dengan nada tinggi dan tanpa tersenyum, “lek ancene sakit, lapo sekolah?! Turu ae
nang omah, nggak usah sekolah!. Alah..paling gara-gara pelajaran bahasa daerah,
wedi de’e...mangkane pura-pura loro (sakit)!! Wis mulihe kono!”. INA pun
kembali ke tempat duduknya, dan J masih belum beranjak walaupun sudah disuruh
pulang. Kemudian INA berkata pada seluruh muridnya, “Aku iku nggak seneng arek gembengan. Lek loro iku yo nggak usah nangis.
Koyok digepuk ae. Engkok disangkakno digepuk bu INA. Saiki wis gedhe, lek loro
yo nggak usah masuk sekolah!”.
(Observasi di SDNX3/INA/ Selasa,
22/7/2008).
Hasil observasi di atas adalah suatu fakta
yang memilukan, dan ironisnya ditunjukkan INA secara terbuka di depan penulis.
INA sudah terbukti melakukan kekerasan non fisik dengan cara membentak,
menghina, menganggap bodoh dan mengabaikan muridnya secara terang-terangan. Hal
ini menunjukkan bahwa kekerasan non fisik yang dilakukan tidak dianggap INA
sebagai suatu kesalahan atau suatu bentuk kekerasan. Seperti para guru lain
yang melakukan tindak kekerasan serupa, INA menganggap apa yang dilakukannya
sebagai hal yang wajar guna mendisiplinkan anak-anak didiknya.
Hal tersebut senada dengan yang dikatakan
oleh Seto Mulyadi atau lebih dikenal dalam dunia psikologi negeri ini sebagai
“Kak Seto”, yang menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak sekolah atau
guru yang berdalih melakukan kekerasan kepada siswanya dengan alasan
pendisiplinan (dalam http://www.ypha.or.id/information,
2007). Fakta tersebut diperkuat dari hasil penulisan yang dilakukan oleh KPA
dalam situs yang sama, yang menyatakan bahwa sebanyak 54% alasan seorang guru
melakukan tindak kekerasan terhadap muridnya adalah karena pendisiplinan.
Alasan pendisiplinan yang melandasi
dilakukannya tindak kekerasan dari guru terhadap murid tidak dapat dibenarkan
(Gordon, 1997). Gordon menilai paradigma itu salah kaprah, karena tidak ada
kaitannya antara disiplin dengan kekerasan. Sekolah memang harus menerapkan
disiplin bagi guru-guru maupun siswa, tapi disiplin itu tidak identik dengan
kekerasan. Untuk menerapkannya bisa dilakukan dengan komunikasi dan tidak
dengan cara menyakiti. Bila hal ini dibiarkan terus menerus akan memiliki
dampak yang buruk bagi perkembangan mental dan kepribadian anak di kemudian
hari. Novianty (2008) mengungkapkan bahwa, anak yang mengalami pendidikan
dengan kekerasan bukan saja akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, tidak
percaya diri, pencemas dan kurang kreatif, namun mereka akan mempelajari
kekerasan yang mereka terima dan pada akhirnya akan menjadi bagian dari
kepribadian mereka. Mereka
akan menjadi pribadi yang menghalalkan tindak kekerasan juga.
Melihat fakta-fakta di atas dapat
dicermati bahwa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid
sering terjadi di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan
karena pada tingkat SD kinerja guru adalah yang terberat bila dibandingkan
dengan guru di tingkat pendidikan lain seperti SMP dan SMA. Bila tugas guru SMP
dan SMA hanya mengajar satu mata pelajaran saja (karena tiap pelajaran
ditangani oleh guru yang berbeda), maka tugas guru SD adalah mengajar semua
mata pelajaran. Selain itu bukan hanya tugas mengajar saja yang dibebankan
kepada guru SD, tugas mendidikpun menjadi tanggungjawab guru SD. Arti dari
mendidik disini adalah ikut andil dalam menciptakan kebagusan moral dan
kepribadian murid.
Menonjolnya
aksi kekerasan guru terhadap murid pada jenjang pendidikan SD diperkuat oleh
data hasil survey yang
dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama 2 tahun
terakhir (2006-2007) yang menyebutkan bahwa peristiwa terbanyak yang terjadi
dalam kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid ini terjadi di jenjang
pendidikan SD (Rukmorini, dalam http://kompas.co.id/read/xml,
2008). Ditambah lagi menurut catatan Depdiknas mengenai mutu guru-guru SD yang
ada di tanah air, hanya 38% yang memenuhi syarat layak mengajar (Kompas, 25
Januari 2001).
Fenomena kasus kekerasan yang
dilakukan oleh guru terhadap murid ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar
bagi masyarakat mengenai apa yang melatarbelakangi hal tersebut?faktor-faktor
apa yang menyebabkan seorang guru yang seharusnya menjadi suri tauladan
murid-muridnya justru melakukan tindakan amoral yaitu berupa kekerasan terhadap
murid-muridnya?
Susilowati (dalam www.e_psikologi.net, 2008) mengemukakan
pendapatnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan seorang guru melakukan
tindak kekerasan terhadap murid-muridnya yaitu adalah; 1) karena kurangnya
pengetahuan guru tersebut tentang dampak negatif dilakukannya tindak kekerasan
terhadap murid-muridnya, 2) adanya persepsi yang parsial dalam menilai siswa,
3) adanya tekanan kerja, 4) adanya masalah psikologis terkait dengan gangguan
emosi, 5) pola authoritarian dalam
mengajar, dan 6) muatan kurikulum yang menekan.
Peace, 3us ^_^
Pengalaman nyata:
BalasHapusini dirasakan anak saya sendiri! Dimana anak saya diminta mengerjakan ujian di buku tulis 32 lembar. Sementara buku yang saya belikan 50 lembar, karena kebetulan saya tidak ingat buku 32 lembar. Ujian dikerjakan anak saya dalam buku 50 lembar, Anak saya mengumpulkan ujian kepada guru. Guru tidak memberi nilai. Anak bertanya, kenapa ujian saya tidak di nilai pak? Pak guru langsung melemparkan buku anak saya ke lantai ruang kelas. Saya menjumpai guru dan minta maaf atas kesalahan buku yang saya beli, dengan berkata, "selamat siang pak guru terhormat" saya salut dengan pendidikan bapak, melemparkan buku anak saya, saya mohon maaf atas kesalahan saya. Tetapi jawaban guru tersebut, itu hanya menguji kesabaran anak. Sementara dalam laporan bulanan anak saya diberi nilai tidak tuntas, guru tidak menilai, Apakah masih ada guru di daerah saudara seperti yang kami alami ini. Sekolah bergensi, uang sekolah selangit, lain tete bengetnya lagi. Spidol di kelas harus murid yang membawa, saya heran?