Pemerintah adalah penanggungjawab utama dan lakon yang berperan penting dalam
membentuk konsep pendidikan sebuah negara. Hal tersebut terwujud melalui
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dalam mengurus pendidikan warga negaranya.
Bila kebijakan yang ditetapkan tidak tepat, maka hal tersebut akan menjadi
pemicu utama dari munculnya bentuk kekerasan dalam pendidikan.
Bila berbicara mengenai pendidikan di
lembaga belajar mengajar (sekolah), maka kebijakan pemerintah yang akan
menggiring seperti apa nantinya kualitas proses belajar mengajar di sekolah
adalah berdasarkan kualitas dari isi kurikulum yang ditetapkan. Sesuai atau
tidak, tepat guna atau tidak, dan efektif atau tidakkah kurikulum tersebut
diterapkan dalam proses belajar mengajar oleh pendidik dan bagi peserta didik,
maka hal inilah yang bisa memicu munculnya kekerasan dalam pendidikan di
sekolah.
Sejak
kurikulum yang pertama (kurikulum 1968) hingga yang kelima (kurikulum
2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), ada degenerasi dalam hal tujuan utama
kegiatan pendidikan. Hal tersebut antara lain terlihat dari semakin etatifnya
praksis pendidikan. Praksis pendidikan semakin tidak berorientasi pada anak,
tetapi lebih pada impuls kepentingan politik praktis. Setiap pergantian
kekuasaan terjadi perubahan kurikulum, sehingga berdampak pada praksis
pendidikan (Sularto, 2000).
Penetapan
kurikulum secara sentralistik dalam konteks sosiologi, lebih kurang sejalan
dengan paradigma struktur sosial, dimana sekolah merupakan unit pendidikan yang
keberadaannya dipandang dan diperlakukan hanya sebagai pelaksana ketentuan dari
kekuatan atau struktur di luar dirinya. Paradigma ini memang pernah populer dan
digunakan sebagai acuan pembangunan berbasis industri di berbagai negara, namun
kini mulai ditinggalkan karena terbukti tidak memberikan hasil memuaskan,
bahkan menimbulkan berbagai dampak negatif. Salah satu dampaknya adalah
maraknya tindak kekerasan di sekolah-sekolah (Toenlioe, 2003).
Kurikulum
sebagai bagian dari sistem pendidikan menurut Darmaningtyas (1999) berada dalam
daerah kewenangan pemerintah, namun kurikulum di negeri ini hanya menjadi
perpanjangan kepentingan politik negara. Darmaningtyas juga mengemukakan bahwa
pendidikan Indonesia sejak masa orde baru merupakan alat kekuasaan dan bersifat
militeristik. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan penyeragaman pakaian sekolah
SD sampai dengan SLTA dan sentralisasi kurikulum. Darmaningtyas mengemukakan
bahwa sentralisasi kurikulum merupakan kerangka politik untuk menyeragamkan
pola pikir, sikap dan cara bertindak siswa.
Peace, 3us ^_^