Sabtu, 06 April 2013

MEMAHAMI PROFESI GURU DI INDONESIA: KOMPETENSI GURU YANG EFEKTIF


Sekolah yang efektif juga sangat didukung oleh kualitas para gurunya yang menyangkut kompetensi dan karakteristik guru. Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Republik Indonesia tahun 2006 tentang Guru, pada bab I ketentuan umum, pasal 1 menyebutkan bahwa:
  1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
  2. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
            Berdasarkan sumber yang sama, pada bab II tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru, pasal 4 menyebutkan bahwa:
  1. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (ayat 2).
  2. Kompetensi guru sebagaimana disebutkan pada nomor 1 adalah bersifat holistik (ayat 3). Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan holistik adalah bahwa keempat kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan kompetensi yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.
  3. Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi (ayat 4):
  1. pemahaman wawasan atau landasan pendidikan
  2. pemahaman terhadap peserta didik
  3. pengembangan kurikulum atau silabus
  4. perancangan pembelajaran
  5. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
  6. pemanfaatan teknologi pembelajaran
  7. evaluasi hasil belajar
  8. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Rabu, 13 Maret 2013

PEMERINTAH DAN KEKERASAN GURU TERHADAP MURIDNYA DI SEKOLAH


Pemerintah adalah penanggungjawab utama dan lakon yang berperan penting dalam membentuk konsep pendidikan sebuah negara. Hal tersebut terwujud melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dalam mengurus pendidikan warga negaranya. Bila kebijakan yang ditetapkan tidak tepat, maka hal tersebut akan menjadi pemicu utama dari munculnya bentuk kekerasan dalam pendidikan.
Bila berbicara mengenai pendidikan di lembaga belajar mengajar (sekolah), maka kebijakan pemerintah yang akan menggiring seperti apa nantinya kualitas proses belajar mengajar di sekolah adalah berdasarkan kualitas dari isi kurikulum yang ditetapkan. Sesuai atau tidak, tepat guna atau tidak, dan efektif atau tidakkah kurikulum tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar oleh pendidik dan bagi peserta didik, maka hal inilah yang bisa memicu munculnya kekerasan dalam pendidikan di sekolah.
            Sejak kurikulum yang pertama (kurikulum 1968) hingga yang kelima (kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), ada degenerasi dalam hal tujuan utama kegiatan pendidikan. Hal tersebut antara lain terlihat dari semakin etatifnya praksis pendidikan. Praksis pendidikan semakin tidak berorientasi pada anak, tetapi lebih pada impuls kepentingan politik praktis. Setiap pergantian kekuasaan terjadi perubahan kurikulum, sehingga berdampak pada praksis pendidikan (Sularto, 2000).
            Penetapan kurikulum secara sentralistik dalam konteks sosiologi, lebih kurang sejalan dengan paradigma struktur sosial, dimana sekolah merupakan unit pendidikan yang keberadaannya dipandang dan diperlakukan hanya sebagai pelaksana ketentuan dari kekuatan atau struktur di luar dirinya. Paradigma ini memang pernah populer dan digunakan sebagai acuan pembangunan berbasis industri di berbagai negara, namun kini mulai ditinggalkan karena terbukti tidak memberikan hasil memuaskan, bahkan menimbulkan berbagai dampak negatif. Salah satu dampaknya adalah maraknya tindak kekerasan di sekolah-sekolah (Toenlioe, 2003).
            Kurikulum sebagai bagian dari sistem pendidikan menurut Darmaningtyas (1999) berada dalam daerah kewenangan pemerintah, namun kurikulum di negeri ini hanya menjadi perpanjangan kepentingan politik negara. Darmaningtyas juga mengemukakan bahwa pendidikan Indonesia sejak masa orde baru merupakan alat kekuasaan dan bersifat militeristik. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan penyeragaman pakaian sekolah SD sampai dengan SLTA dan sentralisasi kurikulum. Darmaningtyas mengemukakan bahwa sentralisasi kurikulum merupakan kerangka politik untuk menyeragamkan pola pikir, sikap dan cara bertindak siswa.

Peace, 3us ^_^

MEMAHAMI SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA


Memahami fenomena kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya tidak akan lengkap dan utuh apabila tidak juga mengkaitkannya dengan pemahaman mengenai sistem pendidikan. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa guru adalah produk dari sistem pendidikan. Tugas dan kewajiban guru dalam mendidik dibentuk dan dirancang oleh sistem pendidikan itu sendiri. Bagaimana seseorang bisa menjadi guru pun dibentuk dan dirancang oleh sebuah sistem pendidikan. Apa yang diajarkan bagaimana cara penyampaian pengajaran, bagaimana identifikasi kesuksesan seorang guru dalam menjalankan pekerjaannya, itupun dibentuk dan dirancang oleh sebuah sistem pendidikan. Berdasarkan hal tersebut maka pada tulisan ini, kajian mengenai sistem pendidikan bangsa ini, yaitu Indonesia menjadi kajian dasar yang akan sangat mempengaruhi pemahaman fenomena ini.

Unsur-unsur bangunan pendidikan
            Berdasarkan pendapat Galtung (2003), yang dimaksud dengan unsur-unsur bangunan pendidikan adalah segala unsur yang membentuk pendidikan selain pelaku utama, yaitu pendidik dan peserta didik. Unsur-unsur bangunan pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi ekonomi-sosial dan segi teknologi-manajerial, dimana penjelasan keduanya adalah sebagai berikut:
  1. Segi Ekonomi-Sosial
`Unsur-unsur bangunan pendidikan dalam tinjauan ini antara lain adalah unsur pendekatan, sistem, dan metode pendidikan.
  1. Segi Teknologi-Manajerial
Unsur-unsur bangunan pendidikan dalam tinjauan ini antara lain adalah unsur kerangka, pranata, dan kurikulum.
Menurut Galtung (2003), unsur-unsur bangunan pendidikan dilihat dengan cara yang berbeda oleh kedua segi tinjauan di atas. Bila segi teknologi-manajerial melihat unsur-unsur tersebut secara terpisah, maka segi ekonomi-sosial melihatnya sebagai unsur-unsur yang saling berkaitan. Artinya, bila berbicara mengenai pendekatan pendidikan  walaupun topik utamanya adalah mengenai kerangka, maka tidak akan lepas dari pranata dan kurikulum. Bila berbicara mengenai sistem pendidikan, kendati maksud utamanya adalah mengenai pranata, juga tidak dapat dipisahkan dari kerangka dan kurikulum. Begitu juga bila berbicara mengenai metode pendidikan, walaupun maksud utamanya adalah mengenai kurikulum, tidak bisa dipisahkan dari kerangka dan pranata.

Unsur-unsur pokok bangunan pendidikan
            Unsur-unsur bangunan pendidikan seperti yang sudah dipaparkan di atas memiliki unsur-unsur pokok. Terdiri dari pelaku utama, yakni pendidik dan peserta didik, lalu kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan (Galtung, 2003). Adapun definisi dari tiap unsur pokok tersebut adalah seperti dijelaskan oleh Galtung berikut ini:
  1. Pendidik adalah mencakup guru, dosen, pemimpin, orangtua, media massa, orang dewasa, dan masyarakat pada umumnya.
  2. Peserta didik adalah mencakup anak-anak, remaja, rakyat, dan berbagai lapisan serta golongan masyarakat.
  3. Kerangka pendidikan adalah visi, misi, filsafat, dan berbagai teori-teori dasar pendidikan serta acuan undang-undang dan peraturannya.
  4. Pranata pendidikan adalah sarana-sarana pendidikan, gedung, lapangan, tempat pertemuan, konteks masyarakat, alat-alat peraga, buku-buku, jurnal-jurnal, berbagai produk media massa, laboratorium, sampai pada sumber pendanaannya.
  5. Kurikulum pendidikan adalah berbagai isi (baik itu nilai terumus dan tertindak) serta ilmu pengetahuan yang dikelola dan disampaikan secara sistematik.
Peace, 3us ^_^


DAMPAK DARI TERJADINYA KEKERASAN GURU TERHADAP MURIDNYA



            Dampak yang diakibatkan dari dilakukannya kekerasan oleh guru terhadap muridnya dalam jangka pendek akan mempengaruhi konsentrasi, persepsi, dan perilakunya, hingga tidak tertutup kemungkinan murid menjadi malas belajar atau bahkan malas sekolah yang berujung pada tidak naik kelasnya murid dan atau berhenti sekolah. Secara psikologis, hukuman yang dilakukan guru terhadap muridnya akan menimbulkan trauma tersendiri bagi murid terhadap sosok guru, dan terhadap instansi pendidikan. (Syamsuarni, 2004).
            Pembahasan mengenai dampak dari dilakukannya tindak kekerasan oleh guru terhadap muridnya ini adalah aspek utama yang menjadikan kasus ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Penting untuk diperhatikan karena menyangkut kelangsungan masa depan bangsa. Bagaimana bangsa ini bisa maju menembus jaman apabila sumber daya-sumber daya manusianya kian hari kian terpuruk akibat cara mendidik yang melegalkan kekerasan?    

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN GURU TERHADAP MURID DI SEKOLAH


Berdasarkan analisis hasil Konsultasi Anak terhadap Kekerasan Tingkat Nasional yang dilakukan pada tahun 2005 (dalam Adiningsih, 2006), didapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Beberapa faktor penyebab tersebut terangkum dalam 4 (empat) aspek, yaitu aspek dari dalam diri murid, aspek dari dalam diri guru, aspek dari sistem pendidikan, serta aspek kultur masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain:
  1. Dari dalam diri murid
Murid kurang disiplin, murid kurang sopan, murid meremehkan guru, tidak mentaati peraturan, tidak mengerjakan PR, tidak mengikuti pelajaran, pulang sebelum bel berbunyi, berkelahi, melanggar peraturan sekolah, mengganggu dan mengejek, ribut di kelas, terlambat datang, melanggar tata tertib sekolah, mengganggu teman saat proses belajar menagajar berlangsung, menghilangkan/merusak barang, memanjat pagar, melempar kaca tanpa sengaja, merokok, lupa bawa buku gambar, mengganggu teman, dan mencontek.
  1. Dari dalam diri guru
    1. Kekerasan dilakukan guru terhadap muridnya sebagai alat pendisiplinan instan, sehingga anak dapat berperilaku sesuai dengan harapan guru
    2. Ketidaklayakan guru dalam mengajar dan mendidik dikarenakan intelektualitas guru yang rendah namun dipaksa untuk mengejar target kurikulum
    3. Ketidakmampuan guru dalam mengelola emosi negatif akibat pergulatan hidup yang berat sebagai dampak dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru. Hal ini menyebabkan guru mengalami stres saat mengajar di kelas, sehingga menunjukkan perilaku kasar ketika mengajar
    4. Kepribadian authoritarian dari guru.
  2. Dari sistem pendidikan
Terdapatnya relasi kuasa yang tidak seimbang antara guru dengan murid, yang bersumber dari kebijakan dan sistem pendidikan yang menganut ideologi dan kultur hierarkis. Sehingga memunculkan paham, ‘siapa yang struktur hierarkisnya lebih tinggi, dialah yang kuat, sebaliknya siapa yang struktur hierarkisnya lebih rendah, dialah yang lebih lemah. Dalam hal ini struktur hierarkis guru ada di atas murid, sehingga hal ini menimbulkan ketidaksetaraan relasi dan paham kekuasaan yang lebih dari guru terhadap muridnya. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid merupakan manifestasi dari konteks kekuasaan guru terhadap murid, yang dimaksudkan agar murid merasa takut dan tunduk pada kemauan dan aturan yang dibuat oleh guru sebagai pihak yang lebih berkuasa.
  1. Dari kultur masyarakat
Kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya seringkali dibenarkan oleh masyarakat bahkan orangtua dari murid karena tindak kekerasan tersebut dianggap merupakan bagian dari proses mendidik anak.

Peace, 3us ^_^

BENTUK-BENTUK KEKERASAN GURU TERHADAP MURID DI SEKOLAH



Berdasarkan hasil  Konsultasi Anak terhadap Kekerasan Tingkat Nasional (dalam Adiningsih, dkk., 2006) diperoleh rangkuman bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, sebagai berikut:
  1. Kekerasan fisik : dipukul, ditampar, dijewer, dicubit, ditendang, dilempar dengan penghapus, kapur, sapu, dan buku, disuruh berdiri, kepala dibotak, disuruh lari, disuruh pompa, dicekik, diusir, disuruh memilih sampah, push up, dijemur, dijitak, membersihkan WC, menyapu keliling sekolah, digiling tangan dengan pinsil/pena, ditarik alis mata, dan disiram.
  2. Kekerasan non fisik :
    1. Verbal: dimaki, dihina, dimarahi, diancam, dikata-katai, dibentak, dll
    2. Psikis: dilecehkan, diabaikan, dipermalukan, dikucilkan, dll.
  3. Kekerasan Seksual
  4. Diskriminasi terhadap anak dengan kebutuhan khusus



FAKTOR PENEYEBAB TERJADINYA KEKERASAN


Definisi dan bentuk kekerasan yang telah dijelaskan di atas sedikit banyak membawa pemahaman tersendiri tentang fenomena kekerasan, namun akan lebih bijak apabila pemahaman ini diikuti dengan pemahaman tentang apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan itu sendiri. Pemahaman tentang faktor penyebab terjadinya kekerasan membantu peneliti dalam memahami sudut pandang informan, karena tiap tindakan dan perilaku memiliki latar belakangnya sendiri.
Sebuah konsep sederhana namun mendalam tentang faktor penyebab terjadinya kekerasan secara umum diungkap oleh Camara (2005). Di dalam teorinya Camara mengungkapkan bahwa kekerasan muncul karena deprivasi relatif yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relatif dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectation) dan kapabilitas nilai (value capability).
Di dalam kaitannya dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, maka ketika kekerasan itu terjadi berdasarkan konsep dari Camara, ada kesenjangan yang terjadi di dalam diri guru antara nilai harapan terhadap murid dengan kapabilitas nilai (kemampuan) yang dimiliki murid. Kondisi ini pada akhirnya yang memunculkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Misalnya, murid yang berperilaku tidak sesuai dengan harapan guru, melanggar peraturan, dan lain sebagainya, maka akan memicu tindak kekerasan guru.

Peace, 3us ^_^

BENTUK-BENTUK KEKERASAN


Memahami kekerasan tidak cukup dengan memahami definisinya saja. Adalah hal yang penting untuk juga memahami apa saja yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Berdasarkan hal ini, Galtung (2003) mencoba menjawab dengan membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga), yaitu:
  1. Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung disebut juga sebagai sebuah peristiwa (event) dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya: pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan langsung merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.
  2. Kekerasan Struktural (kekerasan yang melembaga). Disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggungjawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan.administrasi, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang berlaku.
  3. Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme, ketidaktoleranan, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Sama dengan kekerasan struktural, kekerasan kultural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggungjawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan.administrasi, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang berlaku.

Lebih ringkasnya, tim dari yayasan SEJIWA dalam bukunya tentang Bullying (2008) membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll.
2. Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu;
1. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll.
2. Kekerasan psikologis/psikis: kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir & memelototi.


Peace, 3us ^_^

MEMAHAMI KEKERASAN: DEFINISI KEKERASAN



Ada banyak pendapat mengenai definisi kekerasan, yaitu sebagai berikut:
            Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
            Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.
Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,  nomor 23 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Menurut KUHP pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan sakit yang sangat.
            Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka pendapat Salim-lah yang menurut peneliti paling tepat karena paling lengkap dan merangkup keseluruhan definisi diatas dengan kalimat yang ringkas namun padat, yaitu bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain. Hal ini juga sesuai dengan tema penelitian, yaitu tentang kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya.
Definisi kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya ini apabila merujuk pada definisi kekerasan versi Salim, maka kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya bermakna: suatu perbuatan yang dilakukan guru, yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/pasikis pada murid-muridnya. Definisi inilah yang akan seterusnya peneliti gunakan dalam penelitian ini.

Peace, 3us ^_^

Kamis, 21 Februari 2013

FENOMENA KEKERASAN GURU PADA MURID DI INDONESIA





“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku. Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu..Engkau sebagai pelita dalam kegelapan..Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan..Engkau patriot pahlawan bangsa...tanpa tanda jasa..”
(Sartono)

Masih ingat dengan lirik lagu diatas?Lirik lagu yang dihafal oleh para siswa-siswi negri ini sejak pendidikan dasar (SD) dan yang selalu diingat hingga dewasa. Lagu tersebut berisi tentang jasa para guru yang karena pengabdian dan pengorbanan mereka untuk mengajar anak didiknya dianggap begitu besar, maka layak dianugerahi gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini dapat dipahami dari besarnya peran profesi guru dalam mendidik dan membentuk generasi bangsa yang berkualitas, karena itu menjadi guru tentunya tidak bisa dilakukan secara “sembarangan” atau oleh “sembarang” orang. Guru harus merupakan produk pribadi yang juga berkualitas, baik dari segi intelektual maupun kepribadian. Hal ini dikarenakan, anak didik dari guru-guru inilah yang kelak akan memegang tali kemudi bangsa ini. Bila ingin melihat hasil didikan yang baik, bukankah kualitas pendidik yang dipunyaipun harus baik?
Berbeda dengan kenyatan yang kini terjadi, dewasa ini banyak terdengar tentang kualitas guru yang semakin lama semakin menurun. Bahkan, menurut penulisan yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, dari seluruh guru yang ada di Indonesia hanya sekitar 23% yang dinilai layak secara kualitas (http://waspada.co.id/serba_serbi/pendidikan, 2005). Kenyataan ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa guru-lah pemegang peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa.
Berkaitan dengan makna “guru yang berkualitas”, pada umumnya guru yang berkualitas diartikan sebagai guru yang mengajarnya dimengerti, wawasan keilmuannya baik, memiliki suri tauladan bagi pendidikan moral muridnya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, serta punya semangat totalitas bagi pendidikan (Muchtaridi, 2004), sedangkan hal tersebut kini semakin sulit saja ditemui oleh seorang murid dari sosok gurunya.
Sulitnya menemukan sosok guru ideal yang berkualitas ditunjukkan dengan banyaknya fakta-fakta yang beredar mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya di negeri ini. Kekerasan yang dimaksud adalah berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh  Charters (dalam Anshori, 2008) dan Salim (1991&1987) diartikan sebagai tindakan keras (baik fisik maupun non fisik) yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau dengan tujuan mendidik yang menimbulkan luka fisik maupun psikis.
Berdasarkan definisi kekerasan di atas, maka jenis-jenis kekerasan dibagi menjadi 2 macam (Anshori, dalam www.kpai.or.id, 2006), yaitu: kekerasan fisik dan non fisik. Contoh kekerasan fisik adalah: penghukuman, penganiayaan, pemukulan, pemerkosaan (Sudaryono, 2008), dll. Sedangkan contoh kekerasan non fisik dibagi menjadi 2, yaitu verbal dan psikis (SEJIWA, 2008). Contoh kekerasan non fisik verbal adalah: memaki, membentak, menghina, dll. Contoh kekerasan non fisik psikis adalah: memandang sinis, memandang merendahkan, mengucilkan, mengabaikan, mempermalukan, dll.
Berikut adalah sebagian dari data-data yang penulis peroleh dari beberapa sumber baik media cetak maupun elektronik mengenai kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, yaitu sebagai berikut:


Seorang murid kelas IV SD bernama Alan Anarki, berusia 8 tahun, tidak mampu memenuhi harapan guru kelasnya karena tidak mampu mengerjakan perkalian 7. Karena ketidakmampuannya ini, teman-teman sekelasnya yang berjumlah 29 orang diminta memukuli Alan dengan mistar. Penyiksaan ini membuat Alan terkencing dan muntah, dan ironisnya penyiksaan ini dilakukan teman-teman sekelasnya atas perintah gurunya sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS hl.104, 2004).

Karena tidak mengerjakan PR, 8 (delapan) siswa kelas IV SD di hukum di depan kelas dalam keadaan setengah bugil. Mereka berjalan dengan terseok-seok karena calana dan rok seragam mereka melorot sampai batas mata kaki. Hukuman ini merupakan perintah langsung dari guru mereka sendiri.
(Sumber: INSIST PRESS hl.104, 2004).

Seorang siswa dijewer dan ditendang pakai sepatu lars oleh wakil Kepala sekolah dikarenakan seragam yang dipakai tidak sesuai ketentuan. Akibatnya siswa yang besangkutant harus dirawat di Puskesmas akibat kekerasan yang diterimanya tersebut.
(Sumber: SOLO POS 23 Juli 2008).

Fakta-fakta di atas adalah sebagian kecil dari kondisi yang menunjukkan bahwa begitu mengkhawatirkannya kekerasan yang dilakukan oleh guru pada muridnya yang tentunya berdampak sangat buruk bagi kesehatan fisik dan psikologis murid-murid tersebut. Adapun fakta lain yang dapat memperkuat nyatanya kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya di negri ini adalah ada pada hasil penulisan yang dilakukan  UNICEF pada tahun 2006 (Susilowati, dalam http://bksma2semarang.blog2.plasa.com, 2008) di beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa adalah dilakukan oleh guru.
Fakta lain yang juga menunjukkan bukti bahwa kasus kekerasan yang dilakukan guru begitu mengkhawatirkannya karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, adalah berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak (KPA), yang menyatakan bahwa pada tahun 2006 ada sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah yang dilakukan oleh guru. Jumlah ini meningkat menjadi 226 kasus pada Januari sampai dengan April 2007 (dalam http://www.ypha.or.id/information, 2007).

Jumat, 08 Februari 2013

PENYIKSAAN DAN PENGABAIAN ANAK



Rini (2001) mengungkapkan tentang beberapa kriteria yang termasuk perilaku menyiksa, seperti: a)menghukum anak secara berlebihan, b)memukul, c)menyulut anak dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting, c)terus menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, d)pelecehan seksual, e)menyerang anak secara agresif, f)mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai.
Vander Zanden (2001) mendefinisikan perilaku menyiksa sebagai suatu bentuk penyerangan secara fisik atau melukai anak, dan perbuatan ini justru dilakukan oleh pengasuhnya (orangtua atau pengasuh lain baik yang berhubungan keluarga maupun tidak). Menurut data penelitian dalam situs yang sama, diungkapkan bahwa penyiksaan secara fisik banyak dialami oleh anak–anak sejak masa bayi, dan berlanjut hingga masa kanak–kanak sampai remaja.
Berhubungan dengan sikap pengabaian orangtua terhadap anak, para psikiater yang terhimpun dalam Himpunan Masyarakat Pencegah Kekerasan Pada Anak di Inggris (2001) berpendapat bahwa pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan, namun lebih bersifat pasif. Menurut mereka, penyiksaan dan pengabaian terhadap anak tidak terbatas pada perilaku agresif seperti memukul, membentak–bentak, menghukum secara fisik dan sebagainya, namun sikap orangtua yang mengabaikan anak–anaknya juga tergolong bentuk penyiksaan secara pasif.
Pengabaian ini dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian, baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak. Pengabaian ini dapat berbentuk: a)kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak, b)tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, c)mengacuhkan anak, tidak mengajak berbicara, d)membeda–bedakan kasih sayang dan perhatian antara anak–anaknya, e)dipisahkan dari orangtua, jika tidak ada pengganti yang stabil dan memuaskan.
            Bentuk–bentuk pengabaian yang telah dipaparkan diatas, bila dikaitkan dengan kondisi anak adopsi (apalagi kondisi anak adopsi dengan pelaksanaan proses adopsi yang salah), dan bila terjadi permasalahan dengan hubungan antara anak adopsi dengan keluarga angkat maka lengkap sudah segala jenis bentuk pengabaian yang dipaparkan tersebut ada pada dirinya atau dialami anak adopsi. Dapat dibayangkan pengaruhnya secara psikis bagi perkembangannya dikemudian hari, apalagi bila pelaksanaan pengasuhan anak adopsi tersebut diperparah dengan bentuk–bentuk penyiksaan yang aktif secara fisik. Hal ini benar–benar sangat serius dan perlu diberikan penanggulan lebih lanjut. Maka dari itu, penelitian ini dirasa sangat perlu untuk menggambarkan bagaimana kondisi anak adopsi dengan permasalahan–permasalahan seperti ini.

Peace, 3us ^_^

KEPRIBADIAN PELAKU KEKERASAN: AUTHORITARIAN



Pembahasan mengenai kekerasan dan faktor penyebab dilakukannya tindak kekerasan tersebut tidak lepas dari karakteristik kepribadian yang mendominasi dan identik dimiliki oleh rata-rata pelaku kekerasan, yaitu kepribadian authoritarian. Berdasarkan hal tersebut maka penjelasan mengenai kepribadian authoritarian dipandang penting dilakukan sebagai wacana dalam memahami kekerasan pada anak secara lebih mendalam.
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian didefinisikan sebagai kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud perilaku kaku, keras atau kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang rigid akan kepatuhan terhadap : (a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku kepatuhan yang kaku dan rigid ini memungkinkan pribadi authoritarian untuk merasa tidak nyaman dan memiliki dorongan yang kuat untuk memunculkan dan menampakkan rasa ketidaknyamanan tersebut bila ada orang lain atau lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil tidak seperti apa yang menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.

Karakteristik gaya didik authoritarian
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik pendidik dengan gaya authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya tinggi, (b) suka menghukum secara fisik, (c) bersikap mengomando/mengharuskan dan memerintah anak didik untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap kaku/keras, dan (e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
            Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk melengkapi pendapat Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan operasionalisasi dari pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah pola didik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan pola didik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut  mengenai perilaku. Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan yang bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua tersebut.


Profil anak sebagai dampak gaya didik authoritarian
Profil anak yang ditampilkan sebagai dampak dilakukannya gaya didik authoritarian menurut Yusuf (2004) adalah: menjadi pencemas, mudah terganggu dan suka mengganggu, melakukan permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stres, tidak memiliki arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat atau menarik diri dari masyarakat. 

Peace, 3us ^_^

Kamis, 07 Februari 2013

MEMAHAMI KEKERASAN PADA ANAK


Kekerasan pada anak yang kian marak terjadi di negeri kita, begitu memiriskan hati siapapun . Bagaimana jadinya generasi bangsa ini apabila sejak usia dini mengalami kepahitan justru dari orang yang seharusnya menjadi sandaran untuk berlindung dan menemukan kasih sayang tulus. Oleh karenanya dalam pembahasan ini, penting kiranya menurut saya pribadi bagi kita semua siapapun itu untuk memahami dengan jelas dan tepat mengenai apa itu kekerasan pada anak. Hal ini seangat penting mengingat banyak pelaku kekerasan menolak dikatakan sebagai pelaku kekerasan karena tidak merasa melakukan kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena makna kekerasan itu sendiri sudah menjadi hal yang samar dan dianggap relatif oleh berbagai masyarakat. Berikut akan saya bahas mengenai definisi kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan dan faktor terjadinya kekerasan. Saya harap setelah membaca tulisan ini seluruh pembaca dapat lebih memahami kembali apa makna sebenarnya dari kekerasan dan dikemudian hari bisa membedakan mana yang disebut tindakan kekerasan dan mana yang tidak.

A.  Definisi kekerasan
           
Ada banyak pendapat mengenai definisi kekerasan, yaitu sebagai berikut:
            Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
            Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.
Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,  nomor 23 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Menurut KUHP pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan sakit yang sangat.
            Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka pendapat Salim-lah yang menurut saya paling mewakili karena paling lengkap dan merangkum keseluruhan definisi diatas dengan kalimat yang ringkas namun padat, yaitu bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.


B. Bentuk-bentuk kekerasan

Tim dari yayasan SEJIWA dalam bukunya tentang Bullying (2008) membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll.
2. Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu;
1. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll.
2. Kekerasan psikologis/psikis: kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir & memelototi.


C. Faktor penyebab terjadinya kekerasan

Sebuah konsep sederhana namun mendalam tentang faktor penyebab terjadinya kekerasan secara umum diungkap oleh Camara (2005). Di dalam teorinya Camara mengungkapkan bahwa kekerasan muncul karena deprivasi relatif yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relatif dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectation) dan kapabilitas nilai (value capability). Misalnya, anak yang berperilaku tidak sesuai dengan harapan orangtua, melanggar peraturan, dan lain sebagainya, maka akan memicu tindak kekerasan dari orangtua.

Peace, 3us ^_^

KEKERASAN PADA ANAK



            Semua orangtua sekali waktu pasti merasa marah terhadap anaknya. Mengatasi perilaku anak, memang bukan hal yang mudah. Hanya dengan mengatakan “tidak” saja belum tentu dapat meredam sikap yang menjengkelkan tersebut. Dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang menyulitkan tersebut, banyak orangtua yang lepas kendali sehingga mengatakan atau melakukan  situasi ini sering berulang, maka baik disadari maupun tidak orangtua akhirnya melakukan kekerasan pada anak, baik secara fisik maupun mental.
Kekerasan pada anak ini dapat muncul, apabila orangtua tidak memiliki bekal ilmu yang cukup dalam memahami tumbuh kembang anak-anaknya. Bukti bahwa orangtua tidak memiliki bekal ilmu yang cukup tentang tumbuh kembang anak (dunia anak) adalah dengan mudah diterapkannya cara kekerasan dalam mendidik, mendisiplinkan dan mengubah perilaku anak. Mulai-lah anak direcoki dengan kata-kata dan kalimat bernada tinggi, bervolume keras dengan makna yang negatif dan menyakiti/melukai hati anak. Belum lagi apabila verbal dirasa belum cukup untuk mewakili rasa marah maka orangtua tak jarang menggunakan jurus akhir yang dikira ampuh yaitu dengan hukuman fisik. Maka pukulan, cubitan, jeweran, jambakan bahkan tamparan menjadi cara yang dianggap biasa bagi para orangtua dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya. mereka tidak mengerti bahwa dengan menerapkan cara mendidik dan mendisiplinkan seperti itu mereka baru saja memasuki proses memproduksi anak-anak yang akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi pemaki, pembentak dan pemukul sama dengan yang orangtuanya lakukan dulu terhadapnya. Atau sebaliknya, anak-anak korban kekerasan akan tumbuh menjadi pribadi penakut, penuh ketidakpercayaan diri dan lemah mental akibat didikan penuh intimidasi dan ancaman dan orangtuanya dahulu.
            Kekerasan pada anak rentan terjadi terutama apabila anak memunculkan sikap, sifat atau perilaku yang tidak sesuai dengan harapan orangtua, dan situasi ini rentan terjadi dalam kasus pengadopsian anak. Anak adopsi yang notabene bukan anak kandung memiliki peluang besar untuk tumbuh dengan karakteristik sifat atau perilaku yang tidak sesuai dengn harapan orangtua angkat. Maka dari itu pembahasan mengenai kekerasan ini penulis anggap perlu untuk dimasukkan sebagai bahan renungan bagi para orangtua angkat yang sedang atau akan mengadopsi anak.
Makna kekerasan-pun perlu untuk diluruskan dalam pembahasan ini bagi para orangtua atau pendidik. Yang disebut kekerasan bukan hanya yang bersifat fisik seperti yang selama ini cenderung dipahami. Jadi kekerasan itu bukan hanya memukul hingga biru dan berdarah, namun bentakan, teriakan, kata-kata pedas, kritikan tajam, pandangan atau sikap merendahkan, ketiadaan kesempatan untuk berpendapat dan sikap mengabaikan juga digolongkan sebagai suatu bentuk kekerasan. Untuk itu kesemuanya mengenai seluk-beluk tindak kekerasan pada anak akan dibahas secara lengkap dan detail namun ringkas dalam blog ini. Silahkan anda klik kategori "KEKERASAN PADA ANAK" untuk mendapatkan seluruh artikel yang terkait.

Peace, 3us ^_^

Rabu, 30 Januari 2013

INSTING PADA ANAK By 3us


Berikut adalah beberapa poin untuk membantu pemahaman kita sebagai orangtua tentang INSTING yang dimiliki oleh ANAK - anak kita:


1. Insting adalah kecenderungan fitrah yang mendorong manusia untuk melakukan hal tertentu tanpa didahului pengetahuan atau latihan. Insting banyak macamnya, antara lain, insting takut, insting ingin tahu, insting keibuan atau kebapakan, insting reproduksi, insting bongkar pasang, insting mencari dan menyimpan, insting menguasai, dan insting mencintai.
2. Insting mungkin bisa diubah dengan cara mematikannya. Misalnya melarang anak untuk lari dari hal-hal yang menakutkan di depannya dengan paksaan dan ancaman. Namun upaya ini menyebabkan bahaya dan penyakit syaraf.
3. Apabila kekerasan dipergunakan untuk mengendalikan insting dan kecenderungan anak, bukan dengan metode yang lemah lembut, maka kekerasan akan merasuk ke dalam akal batin dan tetap bercokol tanpa disadari. Kekerasan itu akan tetap hidup disana dan bekerja dengan sembunyi-sembunyi mendorong dan mengarahkan perilaku anak. Kadang-kadang kekerasan itu mencari celah untuk keluar, namun dihadang oleh kekuasaan pendidik dan rasa takut anak akan hukuman. Kekerasan akan terus memaksa untuk muncul sehingga akan terjadi pergulatan batin yang sengit.  Akhirnya syaraf berguncang dan tidur anak pun penuh mimpi-mimpi buruk. Lewat mimpi-mimpi seseorang,kita dapat mengetahui insting, kecenderungan hasrat, dan kegundahan dalam hidup.

Berikut adalah beberapa macam insting yang dimiliki oleh anak beserta poin-poin penjelasannya:

A. Insting Ingin Tahu
1. Buatlah anakmu penuh perhatian terhadap kejadian-kejadian alam, ia akan menjadi anak yang selalu ingin tahu. Apabila engkau ingin memberikan nutrisi pada insting ingin tahu, jangan cepat-cepat membuatnya merasa kenyang. Letakkanlah permasalahan di hadapannya dan biarkanlah dia menyelesaikannya sendiri. Dengan demikian ia akan belajar menemukan sendiri jawaban dan tidak di suapi.
2. Banyak orangtua yang mencela pertanyaan anaknya dan menggerutu atas pertanyaan-pertanyaan anak. Inilah yang akan mematikan insting ingin tahu ini!
3. Ada beberapa sebab yang membuat insting ingin tahu terpendam/padam/mati. Pertama, sikap pendidik yang tidak suka anak sering bertanya. Kedua, lingkungan yang sama sekali tidak mendorong anak untuk bertanya. Inilah yang terjadi di rumah-rumah dan sekolah-sekolah kita. Di sana tidak ada yang menarik rasa ingin tahu anak. Akibat hal ini adalah matinya hasrat ilmiah dan tersebarnya kebodohan.
4. Salah satu sebab yang memadamkan insting ingin tahu pada diri anak adalah buruknya cara guru mengajar. Si guru tidak memberi anak kesempatan untuk bertanya atau emosi-nya cepat meledak hanya karena pertanyaan anak tentang sesuatu. Keadaan ini membuat anak jenuh dan enggan bertanya lagi.

B. Insting Bongkar Pasang
1. Insting bongkar pasang adalah insting yang mendorong anak untuk membongkar, meneliti dan memecah mainannya untuk melihat apa yang ada di dalamnya dan bagaimana susunan mainan itu, kemudian berusaha untuk memasang dan menyusunnya kembali. Insting ini adalah salah satu tema utama dalam studi ilmiah.
2. Orangtua dan guru hendaknya tidak menghalangi anak membongkar alat-alat mainnya. Jangan takut anak akan jadi perusak! Sebaiknya kita sediakan mainan-mainan yang murah, balok-balok, dan mainan lain yang dapat di bongkar-pasang untuk memuaskan insting anak, sehingga ia tidak mengganggu dan merusak perabot rumah (serta untuk mengurangi kerugian materi).

C. Insting Bersaing
1. Insting bersaing adalah insting yang mendorong anak untuk mencapai tingkat yang mengagumkan dan menjadi yang terbaik. Insting bersaing adalah insting yang mulia. Sama sekali berbeda dengan iri dan dengki. Jika tidak dikelola dengan baik ia memang dapat berubah menjadi iri dan dengki.
2. Para pendidik harus menyebarkan jiwa persahabatan dan keikhlasan di antara anak-anak didik yang bersaing serta membiasakan mereka untuk saling menghormati, bersyukur atas prestasi teman, dan memberi ucapan selamat kepada yang berprestasi.

D Insting Bela Diri
1. Insting bela diri adalah dorongan untuk membela dan melindungi diri. Insting ini akan tampak jelas pada anak yang dimusuhi dan anak yang mainannya di ambil paksa oleh temannya. Insting ini kadang-kadang disertai dengan pertengkaran, gerakan anggota tubuh, berteriak, dan menangis. Insting ini biasanya juga disertai dengan kemarahan. Jika tidak dikendalikan dengan baik, insting ini akan mengarah pada iri dengki dan kebencian.
2. Cara menghadapi anak yang marah adalah jangan dengan marah! Tampakkanlah ketenangan dan pengendalian diri serta upayakanlah suasana atau sikap yang dapat meredakan kemarahan, seperti duduk, berbaring, atau mandi. Bagaimanapun juga, jangan memaksa anak dengan kekerasan untuk menghilangkan marahnya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pendidik. Itu akan membahayakan syarafnya.
3. Dalam keadaan apapun juga, jangan menuruti tuntutan anak yang sedang marah, sehingga ia tahu bahwa tidak ada gunanya marah-marah. Sebaiknya kritik dan nasihat disampaikan bila kemarahannya telah reda, lalu jelaskanlah akibat-akibat buruk yang mungkin terjadi terhadap dirinya dan orang lain. Jika ada orang yang telah kena dampak buruk dari kemarahannya, kita dorong dia untuk meminta maaf.

E. Insting Meniru
1. Insting meniru adalah kecenderungan fitrah dalam diri manusia yang mendorongnya untuk mencontoh perbuatan orang-orang disekitarnya. Perbuatan yang ditiru lama-lama menjadi kebiasaan. Jadi insting meniru juga merupakan sarana penting dalam pendidikan dan pengajaran.
2. Kita wajib menyiapkan lingkungan yang kondusif buat anak-anak kita dengan membuat orang-orang di sekelilingnya, seperti kedua orangtua, saudara, dan teman, sebagai pahlawan dan panutan bagi anak-anak. Anak akan menjadi baik jika orang-orang di sekelilingnya baik.
3. Ali bin Abu thalib r.a mengatakan, “Barangsiapa mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin manusia, hendaklah ia didik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain dan ia didik tingkah lakunya sebelum mendidik lisannya.
4. Umar bin Utbah berpesan pada guru anak-anaknya, “Engkau hendaknya memperbaiki dirimu sendiri sebelum memperbaiki anak-anakku. Kebaikan di mata mereka adalah apa yang engkau perbuat dan keburukan di mata mereka adalah apa yang engkau tinggalkan.
5. Sesuatu yang bergelora dalam diri para pendidik, dalam hal ini perasaan-perasaan mulia, sangat dibutuhkan oleh anak untuk dapat ia rasakan, kemudian ia tiru, misalnya semangat berusaha, membela kebenaran, dan empati dengan kesulitan orang lain. Karena itu alangkah baiknya kita kendalikan emosi kita di hadapan anak, agar jiwanya tetap lurus dan sarafnya tetap sehat. Kita juga harus memilih guru yang berkarakter bagus, bukan guru yang pemurung, pesimis, suka berprasangka buruk, apalagi guru pemarah. Yang kita butuhkan adalah guru yang penuh semangat, murah senyum, ramah, ceria dan kreatif.

Peace, 3us ^_^

PADA DASARNYA SEMUA ANAK ADALAH BAIK By: 3us



Menurut Al Istanbuli (2006) ada beberapa hal yang harus kita ketahui dan pahami mengenai dunia anak, yaitu:
1. Segala sesuatu di dunia ini muncul dari Sang Maha Pencipta dalam keadaan baik. Kebaikan itu kemudian mengalami kerusakan dan distorsi akibat ulah tangan-tangan manusia. Begitu juga dengan anak. Mereka semua terlahir dalam kondisi baik. Apabila kondisi baik itu berubah menjadi buruk, itu juga akibat ulah tangan-tangan manusia yang berada di sekitarnya.
2. Pada diri anak hanya terdapat unsur-unsur kebaikan dan unsur-unsur keburukan. Salah satu dari kedua jenis unsur itu akan muncul lebih dominan sesuai dengan pengaruh lingkungan social, pengaruh lingkungan keluarga, dan pengaruh-pengaruh lain.
3. Anak kecil berbuat buruk karena pikirannya belum dapat membedakan baik dan buruk. Ia belum memahami konsekuensi perbuatannya. Bila ia menyiksa burung kecil dan gembira melihat penderitaan burung tadi, itu karena ia sama sekali belum memahami makna kasih sayang. Ia juga tidak tahu apakah burung tadi kesakitan atau tidak. Adapun segala keburukan yang ia perbuat selanjutnya disebabkan oleh bobroknya pendidikan dan rusaknya masyarakat. Bukti hal ini adalah adanya keburukan tertentu pada sebagian anak dan adanya keburukan lain pada sebagian anak lainnya. Ada anak yang penakut, ada anak yang pemberontak, ada yang pendengki, dan ada yang serakah. Seandainya mereka sudah terlahir dengan perangai buruk, niscaya seluruh perangai buruk mereka akan sama.

 Ingatlah Bahwa Tiap Anak Berbeda!
Seluruh anak tidak bisa diperlakukan sama. Cara berinteraksi dengan anak yang satu tentu berbeda dengan cara interaksi dengan anak lainnya termasuk dalam pendidikan. Cara menangani anak harus disesuaikan dengan tabiat, sifat, usia, dan lingkungannya.
Ada orangtua yang mencela anaknya karena tidak sama dengan anak-anaknya yang lain dari segi bakat dan minat. Mereka lupa bahwa anak tidak selamanya menjadi seperti orangtuanya, tetapi mungkin mereka menyerupai nenek moyangnya.
Mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri anak akan merusak masa depan mereka, karena api kecenderungan dan kepandaian mereka padam. Pengabaian perbedaan terkadang membuat anak kabur dari sekolah karena celaan guru dan teman-teman. Mereka dicela setelah mereka kalah dalam lomba paksaan guru pada bidang yang tidak mereka sukai. Padahal, dengan tidak memaksa, si anak mungkin saja dapat tertarik dan tergerak untuk ikut berlomba setelah melihat teman-temannya.


Bersahabatlah Dengan Anak!
Berikut beberapa poin yang perlu kita cermati sebagai orangtua bila ingin memupuk persahabatan dengan anak:
1. Kita tidak akan bisa bersahabat dengan anak kecuali kita bisa melihat dunia dengan pandangan mata mereka.
2. Anak kecil cenderung mengikuti kemauan diri sendiri dan ia tidak mau bersahabat dengan orang yang berbuat buruk terhadap dirinya. Sedangkan kita cenderung untuk mengabaikan dorongan jiwa anak. Seringkali kita menyamakan anak dengan orang dewasa.
3. Kita tidak akan dapat memperoleh kasih sayang anak jika kita tidak memberi kepercayaan terhadap bakat-bakatnya yang tinggi.
4. Pendidikan anak tidak mungkin benar dan berhasil tanpa mempelajari dan memahami apa yang ada dalam jiwanya
5. Bersahabat dengan anak itu mudah, jika kita memahami rahasia-rahasia insting dan minat anak. Bersahabat dengan anak menjadi amat sulit bagi orang yang mengharapkan anak berfikir dengan akal orang dewasa. Kembalilah pada masa kanak-kanak, ketika berinteraksi dengan anak-anak dan untuk meraih hatinya.
6. Anak-anak pada umumnya, bahkan yang paling bandel dalam pelajaran sekalipun, akan bersemangat dan aktif dalam bermain atau aktivitas mengasyikkan lainnya. Karena itu, kita harus mengenali watak-watak mereka. Jika seorang anak bermasalah di semua aktivitas, anak tersebut lemah kemauan dan memerlukan terapi. Jika ada aktivitas atau pekerjaan yang menarik dan mengasyikkannya, perhatikanlah perkembangan minat khusus ini untuk kemudian diupayakan pengembangan perhatiannya.


Peace, 3us ^_^

PEMBAGIAN KASIH SAYANG SECARA ADIL By 3us



Tentunya ayah dan ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing–masing anak. Mereka berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban demi untuk menyelamatkan anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa, orangtua tidak berhenti membantunya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya.
Berbeda dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap atau berkurang, terutama bila anak melakukan hal–hal yang mengecewakan orangtua (Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya. Jangankan dengan anak angkat atau anak orang lain, dengan anak kandung sendiri pun dalam kasus–kasus nyata conditional love terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak.
Memang ada orangtua  yang tidak mencintai anaknya (Hawady, 2001). Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak tersebut atau karena faktor budaya (seperti budaya Jawa) bahkan tidak mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi psikis anak tersebut. Pada umumnya ini terjadi pada kasus adopsi anak dalam budaya jawa. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua kandungnya (terutama ibu) dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga angkatnya (terutama orangtua angkat atau ibu angkat). Dapat dibayangkan betapa pengaruhnya begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak.
Hal ini menurut Hawady, sangatlah tidak sehat bagi perkembangan psikis anak. Menurutnya, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anak–anak tersebut dapat berubah menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anak–anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak perduli dengan perbuatannya, tidak perduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri, dengan kata lain tidak perduli terhadap apapun. Selain dapat berubah menjadi anak nakal yang khas seperti yang dijelaskan oleh Hawady tersebut, anak pun dapat juga menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Hal ini dapat terjadi lanjut Karso, jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya.
Berhubungan dengan kasus adopsi anak, kasih sayang orangtua angkat yang kemungkinan besar sudah berjenis conditional love pada anak adopsi, akan semakin buruk bila ketika mengadopsi, orangtua angkat telah memiliki anak kandung sendiri. Hal ini akan lebih bermasalah dalam hal pembagian kasih sayang secara adil pada semua anak–anaknya, baik yang kandung maupun yang angkat. Membagi kasih sayang secara adil pada anak–anak kandung saja sudah demikian sulit, apalagi bila dengan anak orang lain seperti anak adopsi. Pembagian kasih sayang ini berhubungan dengan bagaimana pribadi masing–masing anak tersebut dapat disenangi atau lebih cocok dengan harapan orangtua (Hawady, 2001).
Menurut Hawady, bila menyangkut masalah perasaan senang orangtua kepada pribadi masing–masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan perasaan kepada yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki–laki disenangi karena dia laki–laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, yang lain lagi karena keberaniannya, karena kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Perasaan senang itu mempunyai dasar yang berbeda–beda. Tidak mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya mensejajarkan kesenangan berenang dengan kesenangan terhadap otomotif.
Bagi Hawady, tiap anak memiliki karakter sendiri serta sifat–sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter anak–anaknya. Misalnya ada orangtua yang membanggakan anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya ada orangtua yang membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tidak suka terhadap orang lain. Hal ini tidak saja terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak. Dalam hubungan dengan orang lain pun hal ini diterapkan. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat–sifat yang sangat menarik bagi diri kita, tetapi bagi orang lain sifatnya justru sangat mengganggu. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana perasaan senang, sayang dan cinta tersebut muncul. Apabila yang menonjol adalah sifat yang tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Sebaliknya apabila yang menonjol adalah sifat baik, maka sifat buruknyapun tidak kita rasakan. Hal ini manusiawi.
            Dalam kaitannya dengan hubungan antara orangtua dan anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa: orangtua akan merasa senang apabila anaknya memiliki sesuatu yang diinginkan oleh orangtua. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga bisa dicapainya. Dan ukuran–ukuran ini dimiliki oleh tiap keluarga secara unik, sesuai dengan karakteristik keluarga tersebut (Hawady, 2001).
            Bila disangkut pautkan dengan kondisi anak adopsi, maka orangtua angkat akan mudah untuk memberikan kasih sayangnya, bila anak adopsi mampu menunjukkan sikap–sikap atau sesuatu yang diharapkan atau diinginkan orangtua angkatnya (Hurlock, 1990). Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila hal tersebut tidak terjadi? Bukankah akan berdampak sangat buruk bagi pemenuhan kebutuhan afeksi anak tersebut dikemudian hari? Hal ini akan semakin bertambah parah bila dalam pengadopsiannya, orangtua angkat telah memiliki anak kandung.
Apabila baik anak adopsi maupun anak kandung sama-sama bisa memiliki sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang akan menjadi masalah adalah apabila anak kandung mampu menunjukkan sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi tidak, maka hal yang akan terjadi adalah suatu bentuk ketidakadilan dalam pembagian kasih sayang yang disadari maupun tidak atau yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak orangtua angkat (Hurlock, 1990).
Lain lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady). Hal ini akan menimbulkan kekecewaan yang lebih mendalam dari pihak orangtua angkat dan perasaan gagal karena menyadari bahwa anak orang lain lebih baik dan lebih mengerti apa yang menjadi harapannya daripada anak sendiri. Disamping itu, dari pihak saudara angkat mungkin saja terjadi kecemburuan dan perasaan iri, karena telah dilampaui oleh orang lain yang bukan saudara kandungnya sendiri, yang menurutnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada dirinya yang seorang anak kandung. Kondisi ini dapat terjadi bila status anak adopsi tidak ditutup–tutupi sejak awal pengadopsian baik kepada seluruh anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitar.

Peace, 3us ^_^