Tampilkan postingan dengan label family conflict. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label family conflict. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Januari 2013

KELUARGA FUNGSIONAL & DISFUNGSIONAL By 3us


A. Pengertian Keluarga
            Menurut Salim (1991) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian keluarga adalah suatu kelompok dalam masyarakat, berisikan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat mendasar. Sedangkan menurut Goldenberg (1985) keluarga didefinisikan secara lebih terinci, yaitu bukan hanya sekedar sekumpulan individu-individu yang menempati ruang secara fisik dan psikologis bersama, namun lebih daripada itu keluarga adalah suatu sistem sosial natural untuk mengembangkan aturan, peran, struktur kekuatan, bentuk-bentuk komunikasi dan cara negosiasi serta problem solving yang diwujudkan dengan adanya berbagai macam tugas untuk ditampilkan secara efektif.

B. Keluarga Fungsional dan Disfungsional
            Menurut Yusuf (2004) keluarga yang fungsional ditandai dengan karakteristik:
  1. Saling memperhatikan dan mencintai
  2. Bersikap terbuka dan jujur
  3. Adanya orangtua sebagai pendengar yang baik. Dapat menerima perasaan anak dan menghargai pendapat anak.
  4. Terbukanya ruang untuk berdiskusi (musyawarah), mengeluarkan pendapat diantara tiap anggota keluarga.
  5. Mampu berjuang untuk mengatasi masalah hidup.
  6. Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi.
  7. Orangtua mengayomi atau melindungi anak.
  8. Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik.
  9. Keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai–nilai budaya, serta
  10. Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Apabila dalam suatu keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi–fungsi seperti yang telah diuraikan diatas, maka menurut Schneiders (dalam Yusuf, 2004) keluarga tersebut mengalami stagnasi (kemandegan) atau disfungsi yang pada gilirannya akan merusak kekokohan keluarga tersebut, khususnya pada perkembangan kepribadian anak.
Sedangkan ciri–ciri  keluarga yang disfungsional tersebut oleh Hawari (dalam Yusuf, 2004) ditandai dengan karakteristik:
  1. Adanya kematian salah satu atau kedua orangtuanya
  2. Kedua orangtua berpisah atau bercerai (divorce)
  3. Hubungan kedua orangtua tidak baik (poor marriage)
  4. Hubungan orangtua dengan anak tidak baik (poor parent–child relationship)
  5. Suasana rumah tangga yang tegang dan tanpa kehangatan (high tension and low warmth)
  6. Orangtua sibuk dan jarang berada di rumah (parent’s absence)
  7. Salah satu atau kedua orangtua memiliki kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder)
Peace, 3us ^_^

Jumat, 11 Januari 2013

PERMASALAHAN KELUARGA DENGAN ANAK ADOPSI By 3us


Menurut Hurlock (1990), terdapat empat sumber perselisihan potensial dalam keluarga yang mempunyai anak adopsi, yaitu:

1. Permasalahan ditimbulkan dari sikap anak adopsi terhadap orangtua
            Jika dengan bertambahnya usia, anak mengetahui dari sanak saudara atau orang luar bahwa mereka diadopsi dan bahwa orang yang selama ini dipanggilnya orangtua bukan orangtua sebenarnya. Akibatnya, mereka mungkin akan mengembangkan suatu keinginan obsesif untuk mengetahui siapa orangtua mereka sebenarnya dan menyatakan keinginan untuk tinggal dengan orangtua kandung. Orangtua angkat sering tidak menyukai hal ini. Secara tidak langsung sikap orangtua ini mungkin dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap anak adopsi, yang pada akhirnya sikap ini akan membahayakan hubungan orangtua angkat dengan anak adopsi.

2. Permasalahan terjadi bila anak kandung lebih cemerlang dari anak adopsi.
            Bila ketika mengadopsi anak, orangtua angkat telah memiliki anak kangdung, maka akan menjadi suatu permasalahan bila anak kandung ternyata lebih cemerlang daripada anak adopsi dalam hal penampilan, prestasi, dan kasih sayang yang ditujukan pada orangtua angkat. Akibatnya, orangtua angkat mungkin akan menyesal dengan keputusannya untuk mengadopsi anak. Secara tidak langsung, perasaan ini akan dipantulkan dalam sikap penolakan terhadap anak adopsi. Sikap ini terasa oleh anak adopsi dan menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan.

3. Permasalahan muncul dari sikap anak kandung terhadap anak yang diadopsi.
            Walaupun hubungan antar saudara kandung tidak seluruhnya harmonis, namun hubungan saudara yang diwarnai perselisihan lebih umum dan banyak terjadi antara anak kandung dengan anak adopsi, bila orangtua angkat memiliki anak kandung sendiri. Banyak anak kandung merasa bahwa anak yang diadopsi bukanlah termasuk saudara kandungnya dan tidak termasuk keluarga mereka. Akibatnya, mereka memperlakukan anak adopsi tersebut dengan cara yang berbeda dengan ketika mereka memperlakukan saudara kandung atau keluarga sendiri.

4. Permasalahan muncul dari sikap sanak saudara (kerabat) dan orang di luar keluarga angkat terhadap anak adopsi.
            Hal ini terjadi bila kerabat tidak menyetujui dilakukannya pengadopsian oleh keluarga angkat. Ketidaksetujuan ini dapat disebabkan oleh kerabat yang tidak menyukai anak adopsi karena berasal dari ras, agama, keturunan atau status sosial yang tidak sama.  

Peace, 3us ^_^

PERMASALAHAN YANG MUNCUL DALAM PENGADOPSIAN ANAK By 3us



Menurut pendapat beberapa ahli sosial dan psikologi, praktek adopsi anak rentan sekali memunculkan permasalahan dalam keluarga (baik keluarga kandung maupun keluarga angkat) dan yang paling utama adalah bagi diri anak adopsi itu sendiri. Mengadopsi anak itu bukan keputusan yang mudah, sebab yang harus dipikirkan pasangan yang akan mengadopsi anak adalah pandangan jauh ke depan, ke 15 sampai 20 tahun yang akan datang (Anglingsari & Selamihardja, 2000).
Selama ini tindakan mengadopsi dilakukan lebih karena mempertimbangkan kepentingan orangtua. Padahal orangtua sangat perlu mengetahui perasaan anak adopsi yang tentu akan mempengaruhi perkembangan anak tersebut di kemudian hari. Misalnya, bila kepentingan itu berasal dari orangtua kandung yang menyerahkan anaknya untuk diadopsi hanya karena ingin terbebas dari beban hidup mengurus anak atau, pada orangtua angkat yang mengadopsi hanya untuk dijadikan “pancingan” dalam rangka memudahkan jalan untuk memiliki anak sendiri.
Berhubungan dengan hal ini, Gosita (2004)  mengemukakan pendapat yang serupa. Menurutnya, dalam praktek adopsi anak, anak dikorbankan untuk memenuhi kepentingan tertentu dari orangtua angkat dan orangtuanya sendiri serta juga dimanfaatkan oleh pihak–pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadopsian anak. Akibatnya, timbul kesan bahwa pengadopsian anak itu selalu merugikan anak yang diadopsi. Hal ini tentunya tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Kita tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengadopsian anak yang dalam batas–batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak.
Anak adopsi berbeda dengan anak kandung, karena suatu ketika anak adopsi akan dikagetkan dengan kenyataan bahwa dirinya ternyata hanyalah seorang anak adopsi. Konflik yang dirasakannya adalah, mengapa dirinya diberikan pada orang lain? Pada umumnya anak adopsi tidak pernah bisa mengerti alasan apapun yang membuat dirinya diberikan pada orang lain. Bila anak sudah diliputi oleh perasaan demikian, maka tiba–tiba dirinya akan merasa menjadi individu yang tanpa identitas. Anak adopsi akan mengalami krisis identitas. Padahal identitas diperlukan manusia dalam mengembangkan sikap dan perilaku untuk penyesuaian diri. Akibatnya anak yang dalam kondisi demikian akan mengalami gangguan sulit menyesuaikan diri (beradaptasi), berekspresi atau memiliki gangguan emosional. Bila hal ini terjadi, baik buruk nasibnya hanya tergantung pada sikap orangtua dan saudara–saudara angkatnya. Bila mendukung, maka anak adopsi bisa diselamatkan, namun bila sebaliknya maka anak adopsi akan makin terperosok.

Menurut Martosedono (1990) pelaksanaan adopsi memang kurang sempurna, banyak resiko yang akan dihadapi secara psikologis. Hal ini terkait dengan:
1.         Bahwa tidak selalu mudah bagi orang tua angkat menganggap anak orang lain yang bukan anaknya seperti anaknya sendiri.
2.    Tidak selalu mudah bagi orangtua kandung dari anak adopsi melupakan anak kandungnya sendiri serta menerima kenyataan bahwa anak kandungnya kini bukanlah anaknya lagi. Terutama bila muncul perasaan bahwa anak kandungnya tidak mendapat perlakuan yang layak dari orangtua angkatnya.
Selain itu menurut Martosedono pula, permasalahan–permasalahan yang mungkin muncul selama pengadopsian adalah:
1.           Muncul penyesalan dari orangtua kandung karena sudah memberikan anaknya pada orang lain.
2.      Muncul penyesalan dari orangtua angkat, karena adopsi yang dilakukannya tidak membawa kemudahan dan kebahagiaan bagi hidupnya
3.    Adanya rasa tidak terima atau tidak suka dari anak adopsi atas dilakukannya pengadopsian terhadap dirinya.
Hal–hal tersebut di atas bila terjadi akan menimbulkan permasalahan yang lebih rumit lagi, sebab adopsi yang telah dilakukan tidak mudah untuk dibatalkan.
Menurut Gosita (2004) praktek adopsi anak di Indonesia merupakan suatu permasalahan yang menimbulkan berbagai permasalahan lebih lanjut, yang harus ditangani sedini dan setuntas mungkin. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan banyak terjadinya praktek–praktek pengadopsian yang dilakukan tanpa prosedur yang sah akibat pengaruh praktek adopsi berdasarkan budaya yang memang dilakukan tanpa mengikuti prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam perundang–undangan negara. 

Peace, 3us ^_^