Tampilkan postingan dengan label psikologi anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label psikologi anak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Maret 2017

ANAK MOGOK SEKOLAH



Materi Talkshow program ME TIME di Radio @masfmmalang, Senin 9/1/2017

ANAK MOGOK SEKOLAH
Oleh: Dian Fitriaswaty., MPsi., Psikolog., Cht., CHA., C.NNLP



I. FAKTOR2 ANAK MOGOK SEKOLAH
Anak mogok sekolah di pertengahan proses pembelajaran pada intinya karena ada hal yang membuatnya tidak nyaman di sekolah. Bisa karena proses pembelajarannya (cara guru mengajar, metode belajar), Karakteristik Guru, Karakteristik Teman (lingkungan pergaulan) atau karena lingkungan sekolah (fasilitas sekolah, dll).

 Anak mogok sekolah di awal memasuki bangku sekolah biasanya dikarenakan mereka belum siap sekolah (karena faktor pola asuh). Misal:
1. Orangtua yg over protektif menyebabkan anak punya masalah dalam berinteraksi sosial (takut dan cemas ketika berinteraksi dg lingkungan baru). Biasanya terjadi pada anak yg diasuh penuh kenyamanan di dalam rumah dan minim diberi kesempatan untuk berinteraksi di luar rumah.
2. Orangtua yang gagal memberi informasi yang positif ttg sekolah dan prosesnya (justru malah menakut-nakuti anak), atau tdk bertindak ketika tahu ada pihak lain yang menginformasikan hal negatif ttg sekolah

Anak mogok sekolah karena permasalahan keluarga  Anak Broken home : Mogok sekolah sebagai protes dan sikap pemberontakan pada orangtuanya. Biasanya anak broken home memang rentan bermasalah di sekolah (dlm pergaulan dan performance belajar)


II. CARA MENYIKAPI ANAK MOGOK SEKOLAH
1. Tetap tenang, jangan panik atau emosional  Orangtua yang bisa tetap tenang adalah karena paham ilmu ttg masalah yg dihadapi. Maka pelajari faktor2 penyebab anak mogok sekolah dari berbagai sumber yg worth it.
2. Menggali dari anak maupun pihak sekolah kemungkinan2 yg menjadi penyebab kenapa anak mogok sekolah  utk anak yg mogok sekolah di tengah proses pembelajaran
3. Introspeksi ttg pola asuh selama ini ( utk anak yg mogok sekolah di awal sekolah, atau yg tdk ada hubungannya sama sekali dg sekolah sebagai penyebab).
4. Perbaiki dan cari solusi  kalau tdk sanggup cari bantuan ahli.

III. TIPS AGAR ANAK SUKA SEKOLAH
1. Intinya sedari dini pahamkan manfaat dan hal2 positif tentang sekolah
2. Sedini mungkin persiapkan anak untuk terampil beradaptasi dg lingkungan baru
3. Sedini mungkin sering2 ajak anak untuk mengobservasi sendiri calon sekolah yang akan dimasukinya, libatkan anak dalam keputusan memilih sekolah
4. Introspeksi terus dan upgrade kemampuan pola asuh agar anak tdk menjadi broken home



Join my Telegram channel:
Join Instagram:
@cafepsikologi
Visit my Website:

Sabtu, 17 Oktober 2015

MUTISM SELEKTIF Part.4

KATEGORI MUTISM SELEKTIF
Oleh: Dian Fitriaswaty




Utnick (2008) mengklasifikasikan MS menjadi 4 kategori, yaitu:

(a) Mild, anak hanya berkomunikasi dengan keluarga dan beberapa teman saja, anak lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dan bahasa (namun tidak lancar) pada seting yang membuatnya kurang nyaman

(b) Moderate, anak berkomunikasi dengan suara bukan kata-kata

(c) Moderate severe, anak berkomunikasi menggunakan bahasa nonverbal (bahasa tubuh, menganggukkan kepala)



(d) Severe, sebenarnya anak mampu berkomunikasi secara nonverbal namun memilih tidak menggunakannya dalam komunikasi dengan orang lain.

MUTISM SELEKTIF Part.3

FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGALAMI MUTISM SELEKTIF
Oleh: Dian Fitriaswaty





1.       MS dihubungkan dengan beberapa faktor penyebab dan salah satunya adalah kelekatan yang tidak aman antara ibu dengan anak (Connor, 2002).

2.       Variabel dalam keluarga yang berhubungan dengan kecemasan sosial termasuk diantaranya overproteksi, kurangnya kehangatan dalam pengasuhan, dan kelekatan yang tidak aman (Kearney, 2006). Anak yang terlalu dependen dengan ibu akan sulit menyesuaikan diri di lingkungan sosial yang tidak ada kehadiran ibu dalam situasi tersebut. Hal ini salah satunya dapat diindikasikan dari perilaku lekat dan bersembunyi di belakang tubuh ibu yang biasanya ditunjukkan oleh anak MS.

3.       Faktor genetik dimana salah satu atau kedua orang tua anak biasanya memiliki karakteristik pemalu dan pendiam, yang memberikan contoh perilaku diam pada anak (Landreth, 2001). Selain itu, Andersson dkk. (1998) juga memperoleh data mengenai simtom yang sama yang dialami oleh anggota keluarga seperti pemalu dan kesulitan berbicara dalam situasi sosial ditemukan pada 59% kasus MS. Dalam 35,1% kasus, salah satu dari saudara kandung menunjukkan simtom yang sama. Namun hanya sedikit kasus yang menemukan bahwa salah satu dari anggota keluarga pernah didiagnosa MS.

4.       Dalam 35,1% kasus ditemukan terdapat gangguan kesehatan mental dalam salah satu atau lebih anggota keluarga dan yang paling banyak adalah gangguan depresi. Salah satu atau kedua orangtua anak MS biasanya (38,5% ibu dan 43,6% ayah) tidak menganggap bahwa simtom MS yang ditunjukkan oleh anak mereka adalah sesuatu yang serius sehingga harus mencari bantuan dari tenaga profesional (Andersson dkk., 1998).


5.       Peristiwa yang traumatik juga diduga sebagai penyebab anak mengalami MS, yaitu sebanyak 36,4% dari kejadian MS pada anak (Andersson dkk., 1998). Beberapa kejadian traumatik yang dapat menjadi penyebab munculnya gangguan MS antara lain seperti perceraian orang tua dan kematian orang terdekat, emigrasi, terjangkit suatu penyakit berat seperti diabetes, tanggalnya gigi yang menyebabkan kesulitan bicara, dan lahirnya saudara kandung/adik (Andersson dkk., 1998).


MUTISM SELEKTIF Part.2

BEBERAPA FAKTA MENGENAI MUTISM SELEKTIF
Oleh: Dian Fitriaswaty






1.        Prevalensi terjadinya gangguan ini cukup kecil, berkisar antara 1-2 % dan data ini pun didapatkan dari hasil penelitian di luar negeri. 

2.       Mutisme selektif umumnya lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dengan rasio 3 : 1.

3.       Mutisme selektif juga dikatakan sangat dekat hubungannya dengan gangguan kecemasan dan sebagai bentuk varian dari social phobia.

4.       Biasanya pertama kali terdeteksi sekitar usia 3-6 tahun dimana merupakan tahun2 pertama anak-anak memasuki fase interaksi di luar lingkaran keluarga.

5.       Anak-anak dengan berbagai keterampilan kemampuan kognitif dapat terpengaruh dan mengalami Mutism Selektif. Jadi tidak dipengaruhi oleh kemampuan kognitifnya.

6.       Mutism Selektif lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga terisolasi secara sosial, latar belakang etnis minoritas bilingual, memiliki anggota lain dari keluarga yang pemalu, pencemas, atau mengalami kesulitan dengan hubungan social

7.       Berdasarkan hasil penelitian, Mutism Selektif adalah sebuah bentuk social fobia, yaitu sebuah gangguan kecemasan yang diwujudkan dalam sebuah tindakan social dimana anak mengalami ketakutan yang sangat untuk dipermalukan, atau ketakutan bahwa dirinya akan dinilai negative oleh orang lain. Maka diam adalah cara anak untuk melindungi diri dari kecemasannya tersebut.


8.       Kecemasan yang dimiliki oleh anak dengan Mutism Selektif terjadi sebagai dampak kegagalan anak dalam belajar mengatasi hal-hal yang ditakutinya dengan cara yang tepat. Hal ini bisa disebabkan kurangnya komunikasi antara orangtua/pengasuh dengan anak.

MUTISM SELEKTIF Part.1

DEFINISI MUTISM SELEKTIF
Oleh: Dian Fitriaswaty





Mutisme Selektif adalah salah satu gangguan kecemasan pada anak, gangguan ini dicirikan dengan anak yang tidak dapat berbicara bila berada dalam lingkungan sosial padahal di tempat biasa anak dapat berbicara dengan sangat faseh/lancar. memilih tidak berbicara pada situasi – situasi tertentu ataupun orang – orang tertentu.

Dalam keadaan ini anak tidak bicara karena tidak mau bicara. Mereka dapat bicara pada saat sendiri, bersama kawan yang disukainya dan kadang-kadang dengan orang tuanya, tetapi tidak bicara di sekolah, di depan umum atau dengan orang asing. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Sering disertai gangguan penyesuaian diri, sangat tergantung orang tua, negativistik, pemalu, menarik diri. Keadaan ini dapat menetap beberapa bulan sampai beberapa tahun. 

Mutisme selektif biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yang tidak mau bicara pada keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang tertentu. Atau kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang tertentu, biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak dihubungkan dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi. Keadaan ini juga ditemukan pada anak dengan gangguan komunikasi sentral dengan intelegensi yang normal atau sedikit rendah.

Anak Mutisme selektif mengalami kesulitan untuk merespon atau memulai komunikasi dalam situasi sosial karena rasa takut dan cemas untuk melakukannya. Rasa takut atau cemas ini diekspresikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada sebagian anak, ada yang menjadi sama sekali membisu atau tidak berbicara pada siapapun di situasi sosial, sedangkan yang lain mau berbicara hanya pada orang-orang tertentu atau berbicara dengan suara yang sangat pelan atau berbisik.

Perilaku Anak Mutisme selektif  menunjukkan tampilan sebagai anak yang sangat pemalu, ketakutan akan dipermalukan dalam situasi sosial, pencemas, terisolasi secara sosial, cenderung temper tantrum, berprilaku oppositional,moody, agresif, keras. Diluar berkomunikasi dengan verbalisasi standar, anak dengan gangguan ini mungkin akan berkomunikasi dengan gestures, mengangguk atau menggelengkan kepala, mendorong atau menarik, atau pada beberapa kasus dengan kata-kata tunggal, pendek dan tanpa suara.





Jumat, 08 Februari 2013

PENYIKSAAN DAN PENGABAIAN ANAK



Rini (2001) mengungkapkan tentang beberapa kriteria yang termasuk perilaku menyiksa, seperti: a)menghukum anak secara berlebihan, b)memukul, c)menyulut anak dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting, c)terus menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, d)pelecehan seksual, e)menyerang anak secara agresif, f)mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai.
Vander Zanden (2001) mendefinisikan perilaku menyiksa sebagai suatu bentuk penyerangan secara fisik atau melukai anak, dan perbuatan ini justru dilakukan oleh pengasuhnya (orangtua atau pengasuh lain baik yang berhubungan keluarga maupun tidak). Menurut data penelitian dalam situs yang sama, diungkapkan bahwa penyiksaan secara fisik banyak dialami oleh anak–anak sejak masa bayi, dan berlanjut hingga masa kanak–kanak sampai remaja.
Berhubungan dengan sikap pengabaian orangtua terhadap anak, para psikiater yang terhimpun dalam Himpunan Masyarakat Pencegah Kekerasan Pada Anak di Inggris (2001) berpendapat bahwa pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan, namun lebih bersifat pasif. Menurut mereka, penyiksaan dan pengabaian terhadap anak tidak terbatas pada perilaku agresif seperti memukul, membentak–bentak, menghukum secara fisik dan sebagainya, namun sikap orangtua yang mengabaikan anak–anaknya juga tergolong bentuk penyiksaan secara pasif.
Pengabaian ini dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian, baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak. Pengabaian ini dapat berbentuk: a)kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak, b)tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, c)mengacuhkan anak, tidak mengajak berbicara, d)membeda–bedakan kasih sayang dan perhatian antara anak–anaknya, e)dipisahkan dari orangtua, jika tidak ada pengganti yang stabil dan memuaskan.
            Bentuk–bentuk pengabaian yang telah dipaparkan diatas, bila dikaitkan dengan kondisi anak adopsi (apalagi kondisi anak adopsi dengan pelaksanaan proses adopsi yang salah), dan bila terjadi permasalahan dengan hubungan antara anak adopsi dengan keluarga angkat maka lengkap sudah segala jenis bentuk pengabaian yang dipaparkan tersebut ada pada dirinya atau dialami anak adopsi. Dapat dibayangkan pengaruhnya secara psikis bagi perkembangannya dikemudian hari, apalagi bila pelaksanaan pengasuhan anak adopsi tersebut diperparah dengan bentuk–bentuk penyiksaan yang aktif secara fisik. Hal ini benar–benar sangat serius dan perlu diberikan penanggulan lebih lanjut. Maka dari itu, penelitian ini dirasa sangat perlu untuk menggambarkan bagaimana kondisi anak adopsi dengan permasalahan–permasalahan seperti ini.

Peace, 3us ^_^

KEPRIBADIAN PELAKU KEKERASAN: AUTHORITARIAN



Pembahasan mengenai kekerasan dan faktor penyebab dilakukannya tindak kekerasan tersebut tidak lepas dari karakteristik kepribadian yang mendominasi dan identik dimiliki oleh rata-rata pelaku kekerasan, yaitu kepribadian authoritarian. Berdasarkan hal tersebut maka penjelasan mengenai kepribadian authoritarian dipandang penting dilakukan sebagai wacana dalam memahami kekerasan pada anak secara lebih mendalam.
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian didefinisikan sebagai kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud perilaku kaku, keras atau kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang rigid akan kepatuhan terhadap : (a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku kepatuhan yang kaku dan rigid ini memungkinkan pribadi authoritarian untuk merasa tidak nyaman dan memiliki dorongan yang kuat untuk memunculkan dan menampakkan rasa ketidaknyamanan tersebut bila ada orang lain atau lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil tidak seperti apa yang menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.

Karakteristik gaya didik authoritarian
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik pendidik dengan gaya authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya tinggi, (b) suka menghukum secara fisik, (c) bersikap mengomando/mengharuskan dan memerintah anak didik untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap kaku/keras, dan (e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
            Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk melengkapi pendapat Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan operasionalisasi dari pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah pola didik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan pola didik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut  mengenai perilaku. Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan yang bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua tersebut.


Profil anak sebagai dampak gaya didik authoritarian
Profil anak yang ditampilkan sebagai dampak dilakukannya gaya didik authoritarian menurut Yusuf (2004) adalah: menjadi pencemas, mudah terganggu dan suka mengganggu, melakukan permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stres, tidak memiliki arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat atau menarik diri dari masyarakat. 

Peace, 3us ^_^

Kamis, 07 Februari 2013

MEMAHAMI KEKERASAN PADA ANAK


Kekerasan pada anak yang kian marak terjadi di negeri kita, begitu memiriskan hati siapapun . Bagaimana jadinya generasi bangsa ini apabila sejak usia dini mengalami kepahitan justru dari orang yang seharusnya menjadi sandaran untuk berlindung dan menemukan kasih sayang tulus. Oleh karenanya dalam pembahasan ini, penting kiranya menurut saya pribadi bagi kita semua siapapun itu untuk memahami dengan jelas dan tepat mengenai apa itu kekerasan pada anak. Hal ini seangat penting mengingat banyak pelaku kekerasan menolak dikatakan sebagai pelaku kekerasan karena tidak merasa melakukan kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena makna kekerasan itu sendiri sudah menjadi hal yang samar dan dianggap relatif oleh berbagai masyarakat. Berikut akan saya bahas mengenai definisi kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan dan faktor terjadinya kekerasan. Saya harap setelah membaca tulisan ini seluruh pembaca dapat lebih memahami kembali apa makna sebenarnya dari kekerasan dan dikemudian hari bisa membedakan mana yang disebut tindakan kekerasan dan mana yang tidak.

A.  Definisi kekerasan
           
Ada banyak pendapat mengenai definisi kekerasan, yaitu sebagai berikut:
            Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.
            Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.
Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,  nomor 23 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Menurut KUHP pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan sakit yang sangat.
            Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka pendapat Salim-lah yang menurut saya paling mewakili karena paling lengkap dan merangkum keseluruhan definisi diatas dengan kalimat yang ringkas namun padat, yaitu bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain.


B. Bentuk-bentuk kekerasan

Tim dari yayasan SEJIWA dalam bukunya tentang Bullying (2008) membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Kekerasan fisik: yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll.
2. Kekerasan non fisik: yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu;
1. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll.
2. Kekerasan psikologis/psikis: kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir & memelototi.


C. Faktor penyebab terjadinya kekerasan

Sebuah konsep sederhana namun mendalam tentang faktor penyebab terjadinya kekerasan secara umum diungkap oleh Camara (2005). Di dalam teorinya Camara mengungkapkan bahwa kekerasan muncul karena deprivasi relatif yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relatif dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectation) dan kapabilitas nilai (value capability). Misalnya, anak yang berperilaku tidak sesuai dengan harapan orangtua, melanggar peraturan, dan lain sebagainya, maka akan memicu tindak kekerasan dari orangtua.

Peace, 3us ^_^

KEKERASAN PADA ANAK



            Semua orangtua sekali waktu pasti merasa marah terhadap anaknya. Mengatasi perilaku anak, memang bukan hal yang mudah. Hanya dengan mengatakan “tidak” saja belum tentu dapat meredam sikap yang menjengkelkan tersebut. Dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang menyulitkan tersebut, banyak orangtua yang lepas kendali sehingga mengatakan atau melakukan  situasi ini sering berulang, maka baik disadari maupun tidak orangtua akhirnya melakukan kekerasan pada anak, baik secara fisik maupun mental.
Kekerasan pada anak ini dapat muncul, apabila orangtua tidak memiliki bekal ilmu yang cukup dalam memahami tumbuh kembang anak-anaknya. Bukti bahwa orangtua tidak memiliki bekal ilmu yang cukup tentang tumbuh kembang anak (dunia anak) adalah dengan mudah diterapkannya cara kekerasan dalam mendidik, mendisiplinkan dan mengubah perilaku anak. Mulai-lah anak direcoki dengan kata-kata dan kalimat bernada tinggi, bervolume keras dengan makna yang negatif dan menyakiti/melukai hati anak. Belum lagi apabila verbal dirasa belum cukup untuk mewakili rasa marah maka orangtua tak jarang menggunakan jurus akhir yang dikira ampuh yaitu dengan hukuman fisik. Maka pukulan, cubitan, jeweran, jambakan bahkan tamparan menjadi cara yang dianggap biasa bagi para orangtua dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya. mereka tidak mengerti bahwa dengan menerapkan cara mendidik dan mendisiplinkan seperti itu mereka baru saja memasuki proses memproduksi anak-anak yang akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi pemaki, pembentak dan pemukul sama dengan yang orangtuanya lakukan dulu terhadapnya. Atau sebaliknya, anak-anak korban kekerasan akan tumbuh menjadi pribadi penakut, penuh ketidakpercayaan diri dan lemah mental akibat didikan penuh intimidasi dan ancaman dan orangtuanya dahulu.
            Kekerasan pada anak rentan terjadi terutama apabila anak memunculkan sikap, sifat atau perilaku yang tidak sesuai dengan harapan orangtua, dan situasi ini rentan terjadi dalam kasus pengadopsian anak. Anak adopsi yang notabene bukan anak kandung memiliki peluang besar untuk tumbuh dengan karakteristik sifat atau perilaku yang tidak sesuai dengn harapan orangtua angkat. Maka dari itu pembahasan mengenai kekerasan ini penulis anggap perlu untuk dimasukkan sebagai bahan renungan bagi para orangtua angkat yang sedang atau akan mengadopsi anak.
Makna kekerasan-pun perlu untuk diluruskan dalam pembahasan ini bagi para orangtua atau pendidik. Yang disebut kekerasan bukan hanya yang bersifat fisik seperti yang selama ini cenderung dipahami. Jadi kekerasan itu bukan hanya memukul hingga biru dan berdarah, namun bentakan, teriakan, kata-kata pedas, kritikan tajam, pandangan atau sikap merendahkan, ketiadaan kesempatan untuk berpendapat dan sikap mengabaikan juga digolongkan sebagai suatu bentuk kekerasan. Untuk itu kesemuanya mengenai seluk-beluk tindak kekerasan pada anak akan dibahas secara lengkap dan detail namun ringkas dalam blog ini. Silahkan anda klik kategori "KEKERASAN PADA ANAK" untuk mendapatkan seluruh artikel yang terkait.

Peace, 3us ^_^

Rabu, 30 Januari 2013

INSTING PADA ANAK By 3us


Berikut adalah beberapa poin untuk membantu pemahaman kita sebagai orangtua tentang INSTING yang dimiliki oleh ANAK - anak kita:


1. Insting adalah kecenderungan fitrah yang mendorong manusia untuk melakukan hal tertentu tanpa didahului pengetahuan atau latihan. Insting banyak macamnya, antara lain, insting takut, insting ingin tahu, insting keibuan atau kebapakan, insting reproduksi, insting bongkar pasang, insting mencari dan menyimpan, insting menguasai, dan insting mencintai.
2. Insting mungkin bisa diubah dengan cara mematikannya. Misalnya melarang anak untuk lari dari hal-hal yang menakutkan di depannya dengan paksaan dan ancaman. Namun upaya ini menyebabkan bahaya dan penyakit syaraf.
3. Apabila kekerasan dipergunakan untuk mengendalikan insting dan kecenderungan anak, bukan dengan metode yang lemah lembut, maka kekerasan akan merasuk ke dalam akal batin dan tetap bercokol tanpa disadari. Kekerasan itu akan tetap hidup disana dan bekerja dengan sembunyi-sembunyi mendorong dan mengarahkan perilaku anak. Kadang-kadang kekerasan itu mencari celah untuk keluar, namun dihadang oleh kekuasaan pendidik dan rasa takut anak akan hukuman. Kekerasan akan terus memaksa untuk muncul sehingga akan terjadi pergulatan batin yang sengit.  Akhirnya syaraf berguncang dan tidur anak pun penuh mimpi-mimpi buruk. Lewat mimpi-mimpi seseorang,kita dapat mengetahui insting, kecenderungan hasrat, dan kegundahan dalam hidup.

Berikut adalah beberapa macam insting yang dimiliki oleh anak beserta poin-poin penjelasannya:

A. Insting Ingin Tahu
1. Buatlah anakmu penuh perhatian terhadap kejadian-kejadian alam, ia akan menjadi anak yang selalu ingin tahu. Apabila engkau ingin memberikan nutrisi pada insting ingin tahu, jangan cepat-cepat membuatnya merasa kenyang. Letakkanlah permasalahan di hadapannya dan biarkanlah dia menyelesaikannya sendiri. Dengan demikian ia akan belajar menemukan sendiri jawaban dan tidak di suapi.
2. Banyak orangtua yang mencela pertanyaan anaknya dan menggerutu atas pertanyaan-pertanyaan anak. Inilah yang akan mematikan insting ingin tahu ini!
3. Ada beberapa sebab yang membuat insting ingin tahu terpendam/padam/mati. Pertama, sikap pendidik yang tidak suka anak sering bertanya. Kedua, lingkungan yang sama sekali tidak mendorong anak untuk bertanya. Inilah yang terjadi di rumah-rumah dan sekolah-sekolah kita. Di sana tidak ada yang menarik rasa ingin tahu anak. Akibat hal ini adalah matinya hasrat ilmiah dan tersebarnya kebodohan.
4. Salah satu sebab yang memadamkan insting ingin tahu pada diri anak adalah buruknya cara guru mengajar. Si guru tidak memberi anak kesempatan untuk bertanya atau emosi-nya cepat meledak hanya karena pertanyaan anak tentang sesuatu. Keadaan ini membuat anak jenuh dan enggan bertanya lagi.

B. Insting Bongkar Pasang
1. Insting bongkar pasang adalah insting yang mendorong anak untuk membongkar, meneliti dan memecah mainannya untuk melihat apa yang ada di dalamnya dan bagaimana susunan mainan itu, kemudian berusaha untuk memasang dan menyusunnya kembali. Insting ini adalah salah satu tema utama dalam studi ilmiah.
2. Orangtua dan guru hendaknya tidak menghalangi anak membongkar alat-alat mainnya. Jangan takut anak akan jadi perusak! Sebaiknya kita sediakan mainan-mainan yang murah, balok-balok, dan mainan lain yang dapat di bongkar-pasang untuk memuaskan insting anak, sehingga ia tidak mengganggu dan merusak perabot rumah (serta untuk mengurangi kerugian materi).

C. Insting Bersaing
1. Insting bersaing adalah insting yang mendorong anak untuk mencapai tingkat yang mengagumkan dan menjadi yang terbaik. Insting bersaing adalah insting yang mulia. Sama sekali berbeda dengan iri dan dengki. Jika tidak dikelola dengan baik ia memang dapat berubah menjadi iri dan dengki.
2. Para pendidik harus menyebarkan jiwa persahabatan dan keikhlasan di antara anak-anak didik yang bersaing serta membiasakan mereka untuk saling menghormati, bersyukur atas prestasi teman, dan memberi ucapan selamat kepada yang berprestasi.

D Insting Bela Diri
1. Insting bela diri adalah dorongan untuk membela dan melindungi diri. Insting ini akan tampak jelas pada anak yang dimusuhi dan anak yang mainannya di ambil paksa oleh temannya. Insting ini kadang-kadang disertai dengan pertengkaran, gerakan anggota tubuh, berteriak, dan menangis. Insting ini biasanya juga disertai dengan kemarahan. Jika tidak dikendalikan dengan baik, insting ini akan mengarah pada iri dengki dan kebencian.
2. Cara menghadapi anak yang marah adalah jangan dengan marah! Tampakkanlah ketenangan dan pengendalian diri serta upayakanlah suasana atau sikap yang dapat meredakan kemarahan, seperti duduk, berbaring, atau mandi. Bagaimanapun juga, jangan memaksa anak dengan kekerasan untuk menghilangkan marahnya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pendidik. Itu akan membahayakan syarafnya.
3. Dalam keadaan apapun juga, jangan menuruti tuntutan anak yang sedang marah, sehingga ia tahu bahwa tidak ada gunanya marah-marah. Sebaiknya kritik dan nasihat disampaikan bila kemarahannya telah reda, lalu jelaskanlah akibat-akibat buruk yang mungkin terjadi terhadap dirinya dan orang lain. Jika ada orang yang telah kena dampak buruk dari kemarahannya, kita dorong dia untuk meminta maaf.

E. Insting Meniru
1. Insting meniru adalah kecenderungan fitrah dalam diri manusia yang mendorongnya untuk mencontoh perbuatan orang-orang disekitarnya. Perbuatan yang ditiru lama-lama menjadi kebiasaan. Jadi insting meniru juga merupakan sarana penting dalam pendidikan dan pengajaran.
2. Kita wajib menyiapkan lingkungan yang kondusif buat anak-anak kita dengan membuat orang-orang di sekelilingnya, seperti kedua orangtua, saudara, dan teman, sebagai pahlawan dan panutan bagi anak-anak. Anak akan menjadi baik jika orang-orang di sekelilingnya baik.
3. Ali bin Abu thalib r.a mengatakan, “Barangsiapa mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin manusia, hendaklah ia didik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain dan ia didik tingkah lakunya sebelum mendidik lisannya.
4. Umar bin Utbah berpesan pada guru anak-anaknya, “Engkau hendaknya memperbaiki dirimu sendiri sebelum memperbaiki anak-anakku. Kebaikan di mata mereka adalah apa yang engkau perbuat dan keburukan di mata mereka adalah apa yang engkau tinggalkan.
5. Sesuatu yang bergelora dalam diri para pendidik, dalam hal ini perasaan-perasaan mulia, sangat dibutuhkan oleh anak untuk dapat ia rasakan, kemudian ia tiru, misalnya semangat berusaha, membela kebenaran, dan empati dengan kesulitan orang lain. Karena itu alangkah baiknya kita kendalikan emosi kita di hadapan anak, agar jiwanya tetap lurus dan sarafnya tetap sehat. Kita juga harus memilih guru yang berkarakter bagus, bukan guru yang pemurung, pesimis, suka berprasangka buruk, apalagi guru pemarah. Yang kita butuhkan adalah guru yang penuh semangat, murah senyum, ramah, ceria dan kreatif.

Peace, 3us ^_^

PADA DASARNYA SEMUA ANAK ADALAH BAIK By: 3us



Menurut Al Istanbuli (2006) ada beberapa hal yang harus kita ketahui dan pahami mengenai dunia anak, yaitu:
1. Segala sesuatu di dunia ini muncul dari Sang Maha Pencipta dalam keadaan baik. Kebaikan itu kemudian mengalami kerusakan dan distorsi akibat ulah tangan-tangan manusia. Begitu juga dengan anak. Mereka semua terlahir dalam kondisi baik. Apabila kondisi baik itu berubah menjadi buruk, itu juga akibat ulah tangan-tangan manusia yang berada di sekitarnya.
2. Pada diri anak hanya terdapat unsur-unsur kebaikan dan unsur-unsur keburukan. Salah satu dari kedua jenis unsur itu akan muncul lebih dominan sesuai dengan pengaruh lingkungan social, pengaruh lingkungan keluarga, dan pengaruh-pengaruh lain.
3. Anak kecil berbuat buruk karena pikirannya belum dapat membedakan baik dan buruk. Ia belum memahami konsekuensi perbuatannya. Bila ia menyiksa burung kecil dan gembira melihat penderitaan burung tadi, itu karena ia sama sekali belum memahami makna kasih sayang. Ia juga tidak tahu apakah burung tadi kesakitan atau tidak. Adapun segala keburukan yang ia perbuat selanjutnya disebabkan oleh bobroknya pendidikan dan rusaknya masyarakat. Bukti hal ini adalah adanya keburukan tertentu pada sebagian anak dan adanya keburukan lain pada sebagian anak lainnya. Ada anak yang penakut, ada anak yang pemberontak, ada yang pendengki, dan ada yang serakah. Seandainya mereka sudah terlahir dengan perangai buruk, niscaya seluruh perangai buruk mereka akan sama.

 Ingatlah Bahwa Tiap Anak Berbeda!
Seluruh anak tidak bisa diperlakukan sama. Cara berinteraksi dengan anak yang satu tentu berbeda dengan cara interaksi dengan anak lainnya termasuk dalam pendidikan. Cara menangani anak harus disesuaikan dengan tabiat, sifat, usia, dan lingkungannya.
Ada orangtua yang mencela anaknya karena tidak sama dengan anak-anaknya yang lain dari segi bakat dan minat. Mereka lupa bahwa anak tidak selamanya menjadi seperti orangtuanya, tetapi mungkin mereka menyerupai nenek moyangnya.
Mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri anak akan merusak masa depan mereka, karena api kecenderungan dan kepandaian mereka padam. Pengabaian perbedaan terkadang membuat anak kabur dari sekolah karena celaan guru dan teman-teman. Mereka dicela setelah mereka kalah dalam lomba paksaan guru pada bidang yang tidak mereka sukai. Padahal, dengan tidak memaksa, si anak mungkin saja dapat tertarik dan tergerak untuk ikut berlomba setelah melihat teman-temannya.


Bersahabatlah Dengan Anak!
Berikut beberapa poin yang perlu kita cermati sebagai orangtua bila ingin memupuk persahabatan dengan anak:
1. Kita tidak akan bisa bersahabat dengan anak kecuali kita bisa melihat dunia dengan pandangan mata mereka.
2. Anak kecil cenderung mengikuti kemauan diri sendiri dan ia tidak mau bersahabat dengan orang yang berbuat buruk terhadap dirinya. Sedangkan kita cenderung untuk mengabaikan dorongan jiwa anak. Seringkali kita menyamakan anak dengan orang dewasa.
3. Kita tidak akan dapat memperoleh kasih sayang anak jika kita tidak memberi kepercayaan terhadap bakat-bakatnya yang tinggi.
4. Pendidikan anak tidak mungkin benar dan berhasil tanpa mempelajari dan memahami apa yang ada dalam jiwanya
5. Bersahabat dengan anak itu mudah, jika kita memahami rahasia-rahasia insting dan minat anak. Bersahabat dengan anak menjadi amat sulit bagi orang yang mengharapkan anak berfikir dengan akal orang dewasa. Kembalilah pada masa kanak-kanak, ketika berinteraksi dengan anak-anak dan untuk meraih hatinya.
6. Anak-anak pada umumnya, bahkan yang paling bandel dalam pelajaran sekalipun, akan bersemangat dan aktif dalam bermain atau aktivitas mengasyikkan lainnya. Karena itu, kita harus mengenali watak-watak mereka. Jika seorang anak bermasalah di semua aktivitas, anak tersebut lemah kemauan dan memerlukan terapi. Jika ada aktivitas atau pekerjaan yang menarik dan mengasyikkannya, perhatikanlah perkembangan minat khusus ini untuk kemudian diupayakan pengembangan perhatiannya.


Peace, 3us ^_^

PEMBAGIAN KASIH SAYANG SECARA ADIL By 3us



Tentunya ayah dan ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing–masing anak. Mereka berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban demi untuk menyelamatkan anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa, orangtua tidak berhenti membantunya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya.
Berbeda dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap atau berkurang, terutama bila anak melakukan hal–hal yang mengecewakan orangtua (Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya. Jangankan dengan anak angkat atau anak orang lain, dengan anak kandung sendiri pun dalam kasus–kasus nyata conditional love terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak.
Memang ada orangtua  yang tidak mencintai anaknya (Hawady, 2001). Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak tersebut atau karena faktor budaya (seperti budaya Jawa) bahkan tidak mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi psikis anak tersebut. Pada umumnya ini terjadi pada kasus adopsi anak dalam budaya jawa. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua kandungnya (terutama ibu) dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga angkatnya (terutama orangtua angkat atau ibu angkat). Dapat dibayangkan betapa pengaruhnya begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak.
Hal ini menurut Hawady, sangatlah tidak sehat bagi perkembangan psikis anak. Menurutnya, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anak–anak tersebut dapat berubah menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anak–anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak perduli dengan perbuatannya, tidak perduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri, dengan kata lain tidak perduli terhadap apapun. Selain dapat berubah menjadi anak nakal yang khas seperti yang dijelaskan oleh Hawady tersebut, anak pun dapat juga menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Hal ini dapat terjadi lanjut Karso, jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya.
Berhubungan dengan kasus adopsi anak, kasih sayang orangtua angkat yang kemungkinan besar sudah berjenis conditional love pada anak adopsi, akan semakin buruk bila ketika mengadopsi, orangtua angkat telah memiliki anak kandung sendiri. Hal ini akan lebih bermasalah dalam hal pembagian kasih sayang secara adil pada semua anak–anaknya, baik yang kandung maupun yang angkat. Membagi kasih sayang secara adil pada anak–anak kandung saja sudah demikian sulit, apalagi bila dengan anak orang lain seperti anak adopsi. Pembagian kasih sayang ini berhubungan dengan bagaimana pribadi masing–masing anak tersebut dapat disenangi atau lebih cocok dengan harapan orangtua (Hawady, 2001).
Menurut Hawady, bila menyangkut masalah perasaan senang orangtua kepada pribadi masing–masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan perasaan kepada yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki–laki disenangi karena dia laki–laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, yang lain lagi karena keberaniannya, karena kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Perasaan senang itu mempunyai dasar yang berbeda–beda. Tidak mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya mensejajarkan kesenangan berenang dengan kesenangan terhadap otomotif.
Bagi Hawady, tiap anak memiliki karakter sendiri serta sifat–sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter anak–anaknya. Misalnya ada orangtua yang membanggakan anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya ada orangtua yang membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tidak suka terhadap orang lain. Hal ini tidak saja terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak. Dalam hubungan dengan orang lain pun hal ini diterapkan. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat–sifat yang sangat menarik bagi diri kita, tetapi bagi orang lain sifatnya justru sangat mengganggu. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana perasaan senang, sayang dan cinta tersebut muncul. Apabila yang menonjol adalah sifat yang tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Sebaliknya apabila yang menonjol adalah sifat baik, maka sifat buruknyapun tidak kita rasakan. Hal ini manusiawi.
            Dalam kaitannya dengan hubungan antara orangtua dan anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa: orangtua akan merasa senang apabila anaknya memiliki sesuatu yang diinginkan oleh orangtua. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga bisa dicapainya. Dan ukuran–ukuran ini dimiliki oleh tiap keluarga secara unik, sesuai dengan karakteristik keluarga tersebut (Hawady, 2001).
            Bila disangkut pautkan dengan kondisi anak adopsi, maka orangtua angkat akan mudah untuk memberikan kasih sayangnya, bila anak adopsi mampu menunjukkan sikap–sikap atau sesuatu yang diharapkan atau diinginkan orangtua angkatnya (Hurlock, 1990). Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila hal tersebut tidak terjadi? Bukankah akan berdampak sangat buruk bagi pemenuhan kebutuhan afeksi anak tersebut dikemudian hari? Hal ini akan semakin bertambah parah bila dalam pengadopsiannya, orangtua angkat telah memiliki anak kandung.
Apabila baik anak adopsi maupun anak kandung sama-sama bisa memiliki sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang akan menjadi masalah adalah apabila anak kandung mampu menunjukkan sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi tidak, maka hal yang akan terjadi adalah suatu bentuk ketidakadilan dalam pembagian kasih sayang yang disadari maupun tidak atau yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak orangtua angkat (Hurlock, 1990).
Lain lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady). Hal ini akan menimbulkan kekecewaan yang lebih mendalam dari pihak orangtua angkat dan perasaan gagal karena menyadari bahwa anak orang lain lebih baik dan lebih mengerti apa yang menjadi harapannya daripada anak sendiri. Disamping itu, dari pihak saudara angkat mungkin saja terjadi kecemburuan dan perasaan iri, karena telah dilampaui oleh orang lain yang bukan saudara kandungnya sendiri, yang menurutnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada dirinya yang seorang anak kandung. Kondisi ini dapat terjadi bila status anak adopsi tidak ditutup–tutupi sejak awal pengadopsian baik kepada seluruh anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitar.

Peace, 3us ^_^