Rabu, 30 Januari 2013

PEMBAGIAN KASIH SAYANG SECARA ADIL By 3us



Tentunya ayah dan ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing–masing anak. Mereka berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban demi untuk menyelamatkan anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa, orangtua tidak berhenti membantunya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya.
Berbeda dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap atau berkurang, terutama bila anak melakukan hal–hal yang mengecewakan orangtua (Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya. Jangankan dengan anak angkat atau anak orang lain, dengan anak kandung sendiri pun dalam kasus–kasus nyata conditional love terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak.
Memang ada orangtua  yang tidak mencintai anaknya (Hawady, 2001). Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak tersebut atau karena faktor budaya (seperti budaya Jawa) bahkan tidak mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi psikis anak tersebut. Pada umumnya ini terjadi pada kasus adopsi anak dalam budaya jawa. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua kandungnya (terutama ibu) dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga angkatnya (terutama orangtua angkat atau ibu angkat). Dapat dibayangkan betapa pengaruhnya begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak.
Hal ini menurut Hawady, sangatlah tidak sehat bagi perkembangan psikis anak. Menurutnya, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anak–anak tersebut dapat berubah menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anak–anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak perduli dengan perbuatannya, tidak perduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri, dengan kata lain tidak perduli terhadap apapun. Selain dapat berubah menjadi anak nakal yang khas seperti yang dijelaskan oleh Hawady tersebut, anak pun dapat juga menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Hal ini dapat terjadi lanjut Karso, jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya.
Berhubungan dengan kasus adopsi anak, kasih sayang orangtua angkat yang kemungkinan besar sudah berjenis conditional love pada anak adopsi, akan semakin buruk bila ketika mengadopsi, orangtua angkat telah memiliki anak kandung sendiri. Hal ini akan lebih bermasalah dalam hal pembagian kasih sayang secara adil pada semua anak–anaknya, baik yang kandung maupun yang angkat. Membagi kasih sayang secara adil pada anak–anak kandung saja sudah demikian sulit, apalagi bila dengan anak orang lain seperti anak adopsi. Pembagian kasih sayang ini berhubungan dengan bagaimana pribadi masing–masing anak tersebut dapat disenangi atau lebih cocok dengan harapan orangtua (Hawady, 2001).
Menurut Hawady, bila menyangkut masalah perasaan senang orangtua kepada pribadi masing–masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan perasaan kepada yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki–laki disenangi karena dia laki–laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, yang lain lagi karena keberaniannya, karena kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Perasaan senang itu mempunyai dasar yang berbeda–beda. Tidak mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya mensejajarkan kesenangan berenang dengan kesenangan terhadap otomotif.
Bagi Hawady, tiap anak memiliki karakter sendiri serta sifat–sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter anak–anaknya. Misalnya ada orangtua yang membanggakan anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya ada orangtua yang membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tidak suka terhadap orang lain. Hal ini tidak saja terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak. Dalam hubungan dengan orang lain pun hal ini diterapkan. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat–sifat yang sangat menarik bagi diri kita, tetapi bagi orang lain sifatnya justru sangat mengganggu. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana perasaan senang, sayang dan cinta tersebut muncul. Apabila yang menonjol adalah sifat yang tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Sebaliknya apabila yang menonjol adalah sifat baik, maka sifat buruknyapun tidak kita rasakan. Hal ini manusiawi.
            Dalam kaitannya dengan hubungan antara orangtua dan anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa: orangtua akan merasa senang apabila anaknya memiliki sesuatu yang diinginkan oleh orangtua. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga bisa dicapainya. Dan ukuran–ukuran ini dimiliki oleh tiap keluarga secara unik, sesuai dengan karakteristik keluarga tersebut (Hawady, 2001).
            Bila disangkut pautkan dengan kondisi anak adopsi, maka orangtua angkat akan mudah untuk memberikan kasih sayangnya, bila anak adopsi mampu menunjukkan sikap–sikap atau sesuatu yang diharapkan atau diinginkan orangtua angkatnya (Hurlock, 1990). Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila hal tersebut tidak terjadi? Bukankah akan berdampak sangat buruk bagi pemenuhan kebutuhan afeksi anak tersebut dikemudian hari? Hal ini akan semakin bertambah parah bila dalam pengadopsiannya, orangtua angkat telah memiliki anak kandung.
Apabila baik anak adopsi maupun anak kandung sama-sama bisa memiliki sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang akan menjadi masalah adalah apabila anak kandung mampu menunjukkan sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi tidak, maka hal yang akan terjadi adalah suatu bentuk ketidakadilan dalam pembagian kasih sayang yang disadari maupun tidak atau yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak orangtua angkat (Hurlock, 1990).
Lain lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady). Hal ini akan menimbulkan kekecewaan yang lebih mendalam dari pihak orangtua angkat dan perasaan gagal karena menyadari bahwa anak orang lain lebih baik dan lebih mengerti apa yang menjadi harapannya daripada anak sendiri. Disamping itu, dari pihak saudara angkat mungkin saja terjadi kecemburuan dan perasaan iri, karena telah dilampaui oleh orang lain yang bukan saudara kandungnya sendiri, yang menurutnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada dirinya yang seorang anak kandung. Kondisi ini dapat terjadi bila status anak adopsi tidak ditutup–tutupi sejak awal pengadopsian baik kepada seluruh anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitar.

Peace, 3us ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar