Tentunya ayah dan
ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing–masing anak. Mereka
berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengharapkan semua anaknya berhasil dan
berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban demi untuk menyelamatkan
anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya
bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa, orangtua tidak berhenti
membantunya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap
perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall &
Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional
love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya.
Berbeda
dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap
atau berkurang, terutama bila anak melakukan hal–hal yang mengecewakan orangtua
(Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya.
Jangankan dengan anak angkat atau anak orang lain, dengan anak kandung sendiri
pun dalam kasus–kasus nyata conditional
love terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak.
Memang ada
orangtua yang tidak mencintai anaknya
(Hawady, 2001). Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama
tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak
tersebut atau karena faktor budaya (seperti budaya Jawa) bahkan tidak
mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi
psikis anak tersebut. Pada umumnya ini terjadi pada kasus adopsi anak dalam
budaya jawa. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua
kandungnya (terutama ibu) dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah
lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga
angkatnya (terutama orangtua angkat atau ibu angkat). Dapat dibayangkan betapa
pengaruhnya begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak.
Hal ini
menurut Hawady, sangatlah tidak sehat bagi perkembangan psikis anak.
Menurutnya, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih
sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anak–anak tersebut dapat berubah
menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anak–anak nakal biasa, yang berbuat
kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak perduli dengan perbuatannya,
tidak perduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri, dengan kata
lain tidak perduli terhadap apapun. Selain dapat berubah menjadi anak nakal
yang khas seperti yang dijelaskan oleh Hawady tersebut, anak pun dapat juga
menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan
sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Hal ini dapat terjadi lanjut
Karso, jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri
anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya.
Berhubungan
dengan kasus adopsi anak, kasih sayang orangtua angkat yang kemungkinan besar
sudah berjenis conditional love pada
anak adopsi, akan semakin buruk bila ketika mengadopsi, orangtua angkat telah
memiliki anak kandung sendiri. Hal ini akan lebih bermasalah dalam hal
pembagian kasih sayang secara adil pada semua anak–anaknya, baik yang kandung
maupun yang angkat. Membagi kasih sayang secara adil pada anak–anak kandung
saja sudah demikian sulit, apalagi bila dengan anak orang lain seperti anak
adopsi. Pembagian kasih sayang ini berhubungan dengan bagaimana pribadi
masing–masing anak tersebut dapat disenangi atau lebih cocok dengan harapan
orangtua (Hawady, 2001).
Menurut
Hawady, bila menyangkut masalah perasaan senang orangtua kepada pribadi
masing–masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan
perasaan kepada yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua
memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki–laki disenangi
karena dia laki–laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang
satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, yang lain lagi
karena keberaniannya, karena kelembutannya, kebijakannya atau karena
kebengalannya. Perasaan senang itu mempunyai dasar yang berbeda–beda. Tidak
mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti
mustahilnya mensejajarkan kesenangan berenang dengan kesenangan terhadap
otomotif.
Bagi
Hawady, tiap anak memiliki karakter sendiri serta sifat–sifat yang kompleks.
Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter
anak–anaknya. Misalnya ada orangtua yang membanggakan anak yang rajin belajar
dan tidak senang keluyuran.
Sebaliknya ada orangtua yang membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan
tidak suka terhadap orang lain. Hal ini tidak saja terjadi dalam hubungan
antara orangtua dengan anak. Dalam hubungan dengan orang lain pun hal ini
diterapkan. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat–sifat yang sangat
menarik bagi diri kita, tetapi bagi orang lain sifatnya justru sangat
mengganggu. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana perasaan senang, sayang dan
cinta tersebut muncul. Apabila yang menonjol adalah sifat yang tidak kita
senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Sebaliknya apabila yang
menonjol adalah sifat baik, maka sifat buruknyapun tidak kita rasakan. Hal ini
manusiawi.
Dalam kaitannya dengan hubungan
antara orangtua dan anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa: orangtua akan
merasa senang apabila anaknya memiliki sesuatu yang diinginkan oleh orangtua.
Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga bisa dicapainya. Dan
ukuran–ukuran ini dimiliki oleh tiap keluarga secara unik, sesuai dengan
karakteristik keluarga tersebut (Hawady, 2001).
Bila disangkut pautkan dengan kondisi
anak adopsi, maka orangtua angkat akan mudah untuk memberikan kasih sayangnya,
bila anak adopsi mampu menunjukkan sikap–sikap atau sesuatu yang diharapkan
atau diinginkan orangtua angkatnya (Hurlock, 1990). Namun, yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana bila hal tersebut tidak terjadi? Bukankah akan
berdampak sangat buruk bagi pemenuhan kebutuhan afeksi anak tersebut dikemudian
hari? Hal ini akan semakin bertambah parah bila dalam pengadopsiannya, orangtua
angkat telah memiliki anak kandung.
Apabila baik
anak adopsi maupun anak kandung sama-sama bisa memiliki sesuatu yang menjadi
harapan orangtua angkat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang akan
menjadi masalah adalah apabila anak kandung mampu menunjukkan sesuatu yang
menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi tidak, maka hal yang akan
terjadi adalah suatu bentuk ketidakadilan dalam pembagian kasih sayang yang
disadari maupun tidak atau yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak
orangtua angkat (Hurlock, 1990).
Lain
lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan
potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang
akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan
lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang
bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady). Hal ini akan
menimbulkan kekecewaan yang lebih mendalam dari pihak orangtua angkat dan
perasaan gagal karena menyadari bahwa anak orang lain lebih baik dan lebih
mengerti apa yang menjadi harapannya daripada anak sendiri. Disamping itu, dari
pihak saudara angkat mungkin saja terjadi kecemburuan dan perasaan iri, karena
telah dilampaui oleh orang lain yang bukan saudara kandungnya sendiri, yang
menurutnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada dirinya yang seorang anak
kandung. Kondisi ini dapat terjadi bila status anak adopsi tidak ditutup–tutupi
sejak awal pengadopsian baik kepada seluruh anggota keluarga maupun kepada
masyarakat sekitar.
Peace, 3us ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar