Menurut
Salim (1987) kata adopsi berasal dari
kata adopt dalam bahasa inggris yang berarti memungut dan mengambil.
Kemudian kata ini mengalami perluasan menjadi adoption atau adopsi dalam bahasa indonesia. Istilah adopsi yang berarti mengambil,
memakai atau memungut sesuatu, dewasa ini sering didefinisikan tersendiri bila
dikaitkan dengan masalah anak (mengambil, memungut anak). Hal ini menyebabkan
makna kata adopsi yang dasarnya adalah kata kerja, bila dikaitkan dengan
masalah adopsi pada anak maka akan berubah menjadi kata benda, sehingga bila
kita mendengar kata “Adopsi”, spontan makna yang kita serap adalah mengenai
masalah pengambilan anak dan pemungutan anak.
Dalam bahasa indonesia sehari–hari istilah adopsi anak lebih akrab
dengan istilah pengangkatan anak, oleh karenanya istilah pengangkatan anak,
pemungutan anak dan adopsi anak adalah memiliki makna yang serupa.
Ada
beberapa definisi yang berbeda dari beberapa sumber yang berbeda pula terkait
dengan istilah adopsi anak. Perbedaan ini dikarenakan pemakaian istilah adopsi
anak disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu sebagai
pihak–pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan adopsi. Namun walaupun berbeda,
keseluruhan definisi ini saling mengisi sehingga mampu memberikan definisi utuh
yang lebih mendalam mengenai adopsi anak.
Definisi
pertama adalah pengertian adopsi anak yang paling sederhana yaitu, pengangkatan
anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri berdasarkan proses hukum (Salim,
1991). Selanjutnya pengertian adopsi anak didefinisikan lebih luas lagi sebagai
pengangkatan anak secara resmi dan disahkan melalui keputusan pengadilan,
sehingga hak–hak anak secara hukum diakui terutama dalam pembagian harta
(Majalah Anggun, p.18, Oktober, 2005), sedangkan Gosita (2004) memberikan
definisi yang lebih kompleks lagi mengenai adopsi anak yaitu bahwa adopsi anak
adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan
diperlakukan sebagai anak turunannya sendiri, berdasarkan ketentuan–ketentuan
yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang
bersangkutan.
Berdasarkan
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa istilah adopsi anak identik
dengan prosedur hukum yang sah, sehingga seorang anak dapat dikatakan sebagai
anak adopsi bila proses pengadopsiannya dilakukan dengan proses hukum yang
berlaku, namun hal yang menarik adalah pada definisi terakhir yang dikemukakan
oleh Gosita. Gosita menyinggung masalah proses hukum dengan tidak sebatas pada
hukum pemerintahan (negara), namun pengertian hukum menurut Gosita lebih
fleksibel karena didasarkan pada hukum yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan, yang juga berarti budaya atau adat istiadat masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini terkait dengan masalah adopsi anak di Indonesia yang
lebih didominasi pelaksanaannya berdasarkan adat istiadat dan budaya
masyarakatnya yang plural (beraneka
ragam), sehingga masalah adopsi anak di Indonesia akan memiliki definisi yang
berbeda lagi bila dikaitkan dengan masalah budaya atau adat istiadat
masyarakatnya.
Adopsi
anak menurut pengertian agama dan adat istiadat dalam masyarakat memiliki dua
pengertian. Pertama: Adopsi anak adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh
dan dididik dengan penuh perhatian, kasih sayang, dan diperlakukan oleh
orangtua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung
kepadanya, sedangkan pengertian kedua: Adopsi anak adalah mengambil anak orang
lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga anak tersebut berhak
memakai nasab (pertalian keluarga)
orangtua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya serta hak–hak lainnya
selayaknya hubungan anak dengan orangtua.
Berdasarkan
pengertian ini maka dapat diambil pemahaman bahwa, istilah adopsi menurut
budaya di masyarakat kita identik dengan pemberian status sebagai anak kandung
atau tidak, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam adopsi anak secara
budaya, ada pihak–pihak yang mengambil anak bukan untuk diberi status sebagai
anak kandung secara sah menurut hukum yang ada, namun mereka mengambil anak
hanya untuk dipelihara dan ditanggung kesejahteraan hidupnya, sedangkan status
anak kandung tetap murni menjadi milik orangtua kandung anak yang bersangkutan,
namun ada pula yang memberikan status anak kandung terhadap anak yang
diadopsinya.
Pada pelaksanaannya, terdapat
perbedaan–perbedaan tata cara pada masyarakat kita bila hendak menjalankan
proses adopsi anak. Perbedaan tata cara tersebut disebabkan karena perbedaan
budaya dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Contohnya seperti yang terjadi di Bali. Adopsi anak pada umumnya dilakukan
dengan memakai upacara keagamaan dan dengan pengumuman serta disaksikan oleh
pejabat dan tokoh agama agar jelas status anak tersebut. Setelah acara berakhir
maka anak tersebut akan menjadi anggota penuh dari kerabat yang mengangkatnya,
sehingga terputus hak warisnya dengan kerabat lamanya.
Lain
halnya dengan pelaksanaan adopsi anak di Sulawesi Selatan. Pada akhirnya anak
adopsi tetap memiliki hubungan waris dengan orangtua kandung dan kerabat
lamanya, sehingga anak adopsi tidak berhak menjadi ahli waris dari orangtua
angkat dan keluarga barunya, walaupun begitu anak adopsi tetap bisa diberi hibah (wasiat).
Berbeda
lagi dengan adopsi anak yang terjadi di Jawa, karena adopsi jenis ini cukup kompleks, maka tema ini tidak dibahas di sini, namun akan
dibahas tersendiri pada judul tersendiri.
Peace, 3us ^_^
Peace, 3us ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar