Jumat, 11 Januari 2013

KISAH WANDI DAN ADOPSI KERABAT PART 2 By 3us


(If you miss part 1, click this)

Setelah menemukan bahwa istilah anak adopsi adalah paling tepat untuk menggambarkan status Wandi dalam keluarga saya, maka saya kembali dibingungkan dengan cocok tidaknya  istilah tersebut diberikan terhadap kondisi Wandi, mengingat Wandi masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga saya yaitu sepupu saya sendiri, sedangkan biasanya anak yang diadopsi diambil dari anak orang lain yang tidak dikenal sebelumnya, namun setelah mengkaji lagi ternyata adopsi anak dengan mengambil anak dari kerabat sendiri diistilahkan secara khusus dengan istilah adopsi sanak saudara atau adopsi tradisional yang biasanya dilakukan terhadap sanak saudara yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah (Teviningrum, 1999).
Mengkerucut lagi, dalam istilah adopsi ini, sanak saudara yang dijadikan anak adopsi biasanya adalah keponakan sendiri (Martosedono, 1990). Hal ini banyak terjadi dalam masyarakat jawa dan memang itulah yang terjadi dalam pengadopsian Wandi. Untuk memudahkan pembahasan, di tulisan–tulisan selanjutnya saya sengaja memilih menggunakan istilah adopsi kerabat karena lebih efisien dan ringkas, serta memiliki makna yang tidak bertolak belakang dengan istilah adopsi sanak saudara (Salim, 1991).
Ada perbedaan antara pengadopsian kerabat yang dilakukan oleh masyarakat jawa dengan masyarakat budaya lain (Martosedono,1990). Perbedaan itu adalah mengenai masalah kedudukan anak adopsi dalam keluarga angkat. Dalam adopsi kerabat di Jawa, walaupun terjadi pengalihan kuasa asuh dari keluarga kandung ke keluarga angkat  (sehingga seluruh tanggung jawab tentang keberlangsungan hidup anak berada di tangan keluarga angkat), namun pada umumnya  tetap tidak dilakukan pemutusan pertalian keluarga antara anak adopsi dengan keluarga kandungnya, dan anak adopsipun biasanya tidak diberi status sebagai anak kandung. Anak adopsi hanya dipelihara, dirawat dan diberi kasih sayang seperti kepada anak sendiri, namun tanpa memiliki hak–hak selayaknya hubungan orangtua dengan anak kandung (seperti warisan atau hak terhadap harta benda). Hal ini tidak terjadi dalam budaya lain yang menganut sistem keluarga berdasarkan keturunan dari pihak laki–laki seperti misalnya di Bali, karena biasanya tujuan mengadopsi pada budaya patriliniel adalah untuk meneruskan keturunan, sehingga tentu saja diberikan status dan hak–hak selayaknya anak kandung.
Hal inilah yang terjadi pada kasus Wandi. Wandi diadopsi oleh keluarga saya yang berbudaya jawa untuk membantu kesulitan hidup ibu kandungnya saat itu yang ditinggal cerai oleh ayah kandung Wandi. Selama diadopsi, keluarga saya tidak memberikan status dan hak-hak anak kandung terhadap Wandi. Wandi tetap berstatus keponakan dan sepupu walaupun orangtua saya berniat dan berusaha memperlakukan Wandi seperti anak sendiri.
Masalah adopsi kerabat seperti dalam budaya jawa ini dapat menjadi sumber keributan dan masalah yang munculpun akan lebih rumit dibandingkan adopsi biasa. Permasalahan yang dapat muncul adalah berkaitan dengan pelaksanaan adopsi kerabat dalam budaya jawa yang dibuat tidak jelas, karena tidak melalui prosedur hukum yang sah atau dilakukan secara ilegal. Permasalahan dapat muncul ketika ternyata selama pengadopsian, anak adopsi tidak tumbuh seperti yang diharapkan orangtua angkat sebelumnya, sehingga timbul penyesalan–penyesalan dari orangtua angkat atas adopsi yang telah dilakukannya (Martosedono, 1990). Kondisi ini akan memicu konflik baik terhadap keluarga pengadopsi maupun terutama terhadap diri anak adopsi itu sendiri, sebab bila penyesalan muncul, orangtua angkat tidak dapat dengan mudah mengalihkan kuasa asuhnya lagi kepada orangtua kandung karena tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Hal ini menyebabkan penyelesaian konflik yang terjadi akan lebih sulit untuk diselesaikan, dan akan berdampak pada kesejahteraan keluarga terutama anak adopsi sebagai pihak yang paling tidak berdaya.

Berbeda bila pengadopsian anak dilakukan dengan jelas dan melalui prosedur–prosedur hukum yang berlaku. Pada praktek adopsi yang dilakukan dengan melalui jalur–jalur hukum yang berlaku, sebelum mengesahkan bahwa pelaku adopsi berhak mengadopsi anak, pengadilan sebelumnya mengadakan penyelidikan dahulu terhadap latar belakang pelaku adopsi dalam melakukan adopsi. Apa motifnya, bagaimana keadaan tempat tinggal pelaku adopsi, apa pekerjaannya, apa saja yang sudah dipersiapkan pelaku adopsi untuk mengadopsi anak dan hal–hal lain yang bisa dijadikan bahan pertimbangan apakah pelaku adopsi layak atau tidak menjalankan fungsinya sebagai orangtua angkat terhadap anak adopsi. Selain itu apabila ternyata setelah disahkan pelaku adopsi melakukan penyimpangan–penyimpangan yang merugikan baik kepada anak adopsi maupun terhadap keluarganya terkait masalah adopsi, maka pengadilan berhak mencabut kembali ijin pelaku adopsi untuk mengadopsi anak tersebut.  Dengan begitu maka tidak akan ada pihak yang dirugikan, dan permasalahanpun dapat dihindari. 

Permasalahan yang dapat muncul dalam pelaksanaan adopsi kerabat dalam budaya jawa pun tidak hanya sampai pada masalah keabsahan hukum proses pelaksanaannya, namun juga menyangkut karakteristik budaya jawa itu sendiri yang dianut para pelaku adopsi kerabat ini. Ciri khas orang jawa yang selalu menjaga tata tentrem, unggah–ungguh dan sistem kerukunan dalam hubungan kekerabatan, membuat para pelaku adopsi bila menghadapi konflik, akan sebisa mungkin dihindari, ditutupi atau disembunyikan (Mulder, 1996). Sementara, justru hal itulah yang pada akhirnya membuat anak adopsi menjadi korban dari kondisi rumit ini.
 Perasaan ditolak, tidak dikehendaki atau diabaikan muncul dan akan menodai perkembangannya. Hal ini dikarenakan tertutupinya masalah yang ada, justru membuat masalah tersebut semakin besar tanpa adanya penyelesaian secara bijaksana. Anak adopsi yang tidak berdaya tentu akan menjadi korban utama. Semua ini akan sangat mempengaruhi kesehatan psikologis anak dan mempengaruhi perkembangan anak dikemudian hari.
Hal inilah yang membuat saya terhenyak, karena ternyata banyak konsekuensi yang kompleks yang harus dipikirkan terlebih dahulu bagi para pelaku adopsi, dan hal ini pula membuat saya lebih mengerti akan konflik hidup yang dialami Wandi sebagai anak adopsi yang menjadi korban dari ketidakmengertian para pelaku adopsi akan pentingnya menjaga keoptimalan tumbuh kembang anak sejak dini.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada pula beberapa keluarga yang menjalankan adopsi kerabat dalam budaya jawa, namun mampu menghasilkan anak adopsi yang berkembang optimal baik dari segi fisik maupun psikisnya. Kemungkinan hal ini dapat terjadi bila pelaku adopsi mengerti tentang bagaimana proses tumbuh kembang anak. Apa yang seharusnya anak butuhkan di tiap tahap pertumbuhannya, apa saja atau konsekuensi–konsekuensi apa saja yang dapat terjadi dengan keputusan mengadopsi anak ini bagi keluarga pelaku adopsi dan terutama bagi anak adopsi itu sendiri.  Berbeda bila para pelaku adopsi adalah orang yang masih awam dengan pengetahuan tumbuh kembang anak. Hal ini akan rentan memunculkan penyimpangan–penyimpangan proses adopsi yang akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga pelaku adopsi dan bagi kesejahteraan fisik dan psikis anak adopsi di kemudian hari.

Peace, 3us ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar