Pelaksanan
adopsi anak dalam budaya Jawa memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan
budaya–budaya lain di Indonesia. Seperti misalnya masalah kedudukan anak adopsi
dalam keluarga angkat. Di Jawa, pengadopsian anak tidak memutuskan pertalian
keluarga antara anak adopsi dengan orangtua kandungnya (Martosedono,1990),
sehingga anak adopsi pada umumnya tidak berkedudukan sebagai anak kandung atau
tidak diberi status anak kandung oleh keluarga angkatnya. Kedudukan sebagai
anak kandung yang tidak dimiliki anak adopsi dalam budaya jawa ini dalam hal
meneruskan keturunan dari pihak ayah angkatnya, namun walaupun demikian anak
adopsi tetap menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya tetapi hanya terbatas
atau tidak penuh hak warisnya.
Kondisi
ini akan membuat permasalahan yang muncul menjadi lebih sulit diatasi karena
pelaksanaan adopsi di Jawa itu tidak dibuat jelas. Artinya, proses adopsi tidak
dengan mengadakan upacara keagamaan atau disaksikan oleh masyarakat.
Di Jawa, yang diambil sebagai anak
adopsi biasanya keponakannya sendiri atau anak dari saudara (kerabat) sendiri
(Martosedono, 1990). Maka dari itu muncul lagi istilah adopsi yang baru yaitu:
Adopsi kerabat / Adopsi sanak saudara (Anglingsari & Selamihardja, 2000). Pada kasus adopsi kerabat pada umumnya anak
adopsi diambil dari sanak saudara yang kurang mampu atau yang tingkat sosial
ekonominya lebih rendah daripada keluarga angkat. Adopsi kerabat di Jawa ini
muncul terkait dengan karakteristik budaya jawa itu sendiri.
B. BUDAYA JAWA DALAM ADOPSI KERABAT
Cita–cita
masyarakat jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang selaras. Tugas moral
pribadi jawa adalah menjaga keselarasan tersebut dengan cara menjalankan
kewajiban–kewajiban sosial, yaitu hubungan antara orang–orang, dan
hubungan–hubungan sosial itu tidak sama, melainkan hirarkis (Mulder, 1986).
Artinya, dalam masyarakat jawa hubungan sosial itu tidak sama rata. Siapa yang
berpangkat harus memelihara bawahannya, sedangkan orang yang sama pangkatnya
harus bertindak sama, harus solider.
Dalam masyarakat jawa pun dikenal
sistem kekeluargaan. Kekeluargaan yang hirarkis, selain itu tolong menolong, musyawarah, gotong royong merupakan
bagian dari kebudayaan jawa juga. Semuanya itu merupakan manifestasi dari
adanya prinsip yang sangat berarti bagi masyarakat jawa, yaitu prinsip
kerukunan. Tujuan prinsip kerukunan adalah mempertahankan keadaan masyarakat
yang harmonis dan keadaan semacam ini disebut “rukun” (Suseno &
Reksosusilo, 1983). Atas dasar prinsip kerukunan itulah, orang jawa berusaha
untuk menghilangkan tanda–tanda ketegangan dalam masyarakat atau antar pribadi,
sehingga hubungan sosial tetap terlihat harmonis. Prinsip kerukunan ini
diterapkan orang jawa dalam semua bidang kehidupan. Seperti: dalam membagi
harta warisan, harta milik saat perceraian, atau saat menerima anggota keluarga
(kerabat) ke dalam rumahnya
(Suseno&Reksosusilo,1983). Semuanya dilakukan dengan berusaha tetap rukun
bila dilihat dari permukaan.
Menurut Sardjono (1995) berbeda dengan
banyak suku lain di Indonesia, dalam lingkup keluarga, masyarakat jawa tidak
mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar
keluarga inti dianggap penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek
moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat jawa dan dianggap
sebagai kelompok yang termasuk kerabat. Bagi individu jawa, arti keluarga
adalah sebagai tempat berlindung dan tempat mencari rasa aman, sehingga bila
terjadi suatu permasalahan tempat pertama yang dituju untuk menyelesaikannya
adalah keluarga, baik keluarga inti maupun kerabat lain.
Bagi semua orang jawa, kelompok
besarnya yang terdiri dari sanak saudara tingkat satu dan dua (kerabat) secara
sosial dan emosional adalah penting. Apabila tidak dalam arti identitas, maka
sekurang–kurangnya sebagai suatu sumber dukungan moral dan material pada saat
terjadi permasalahan dalam hidup masing–masing individu maupun dalam hal
membesarkan anak–anak yang mereka miliki (Mulder, 1996).
Demikian pula bila dihubungkan dengan
praktek adopsi kerabat. Dalam budaya jawa seringkali anak–anak diberikan untuk
diasuh saudara dekat yang tidak punya anak atau kepada keluarga dari sanak
saudara atau orang lain yang mempunyai sarana lebih baik dan lebih unggul dalam
pengalaman dan kebijaksanaan yang dapat membuat anak menarik manfaat
daripadanya (Mulder, 1996). Sekalipun orangtua mungkin mengetahui atau ingat
bahwa hal ini seringkali tidak menyenangkan bagi anak yang bersangkutan, mereka
akan mengajukan alasan bahwa adalah baik bagi anak untuk mengalami pendidikan
berat, bahwa anak harus mengalami liku–liku kehidupan di usia muda untuk dapat
merasakan kesukaran dan lalu merasakan kesenangan apabila keadaan menjadi lebih
baik (Mulder,1996).
Kondisi budaya jawa inilah yang akan
menjadi pemicu munculnya permasalahan yang lebih rumit. Hal ini di karenakan
adanya prinsip kerukunan dalam masyarakat jawa, membuat setiap permasalahan yang muncul akan sebisa
mungkin ditutupi atau disembunyikan, sehingga permasalahan yang seharusnya
diatasi sesegera mungkin menjadi terbengkalai. Pada akhirnya sebagai pihak yang
paling tidak berdaya dalam hirarki kedudukan orang jawa, anak adopsilah yang
akan menjadi korban utama.
Peace, 3us ^_^
Peace, 3us ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar