Rabu, 30 Januari 2013

INSTING PADA ANAK By 3us


Berikut adalah beberapa poin untuk membantu pemahaman kita sebagai orangtua tentang INSTING yang dimiliki oleh ANAK - anak kita:


1. Insting adalah kecenderungan fitrah yang mendorong manusia untuk melakukan hal tertentu tanpa didahului pengetahuan atau latihan. Insting banyak macamnya, antara lain, insting takut, insting ingin tahu, insting keibuan atau kebapakan, insting reproduksi, insting bongkar pasang, insting mencari dan menyimpan, insting menguasai, dan insting mencintai.
2. Insting mungkin bisa diubah dengan cara mematikannya. Misalnya melarang anak untuk lari dari hal-hal yang menakutkan di depannya dengan paksaan dan ancaman. Namun upaya ini menyebabkan bahaya dan penyakit syaraf.
3. Apabila kekerasan dipergunakan untuk mengendalikan insting dan kecenderungan anak, bukan dengan metode yang lemah lembut, maka kekerasan akan merasuk ke dalam akal batin dan tetap bercokol tanpa disadari. Kekerasan itu akan tetap hidup disana dan bekerja dengan sembunyi-sembunyi mendorong dan mengarahkan perilaku anak. Kadang-kadang kekerasan itu mencari celah untuk keluar, namun dihadang oleh kekuasaan pendidik dan rasa takut anak akan hukuman. Kekerasan akan terus memaksa untuk muncul sehingga akan terjadi pergulatan batin yang sengit.  Akhirnya syaraf berguncang dan tidur anak pun penuh mimpi-mimpi buruk. Lewat mimpi-mimpi seseorang,kita dapat mengetahui insting, kecenderungan hasrat, dan kegundahan dalam hidup.

Berikut adalah beberapa macam insting yang dimiliki oleh anak beserta poin-poin penjelasannya:

A. Insting Ingin Tahu
1. Buatlah anakmu penuh perhatian terhadap kejadian-kejadian alam, ia akan menjadi anak yang selalu ingin tahu. Apabila engkau ingin memberikan nutrisi pada insting ingin tahu, jangan cepat-cepat membuatnya merasa kenyang. Letakkanlah permasalahan di hadapannya dan biarkanlah dia menyelesaikannya sendiri. Dengan demikian ia akan belajar menemukan sendiri jawaban dan tidak di suapi.
2. Banyak orangtua yang mencela pertanyaan anaknya dan menggerutu atas pertanyaan-pertanyaan anak. Inilah yang akan mematikan insting ingin tahu ini!
3. Ada beberapa sebab yang membuat insting ingin tahu terpendam/padam/mati. Pertama, sikap pendidik yang tidak suka anak sering bertanya. Kedua, lingkungan yang sama sekali tidak mendorong anak untuk bertanya. Inilah yang terjadi di rumah-rumah dan sekolah-sekolah kita. Di sana tidak ada yang menarik rasa ingin tahu anak. Akibat hal ini adalah matinya hasrat ilmiah dan tersebarnya kebodohan.
4. Salah satu sebab yang memadamkan insting ingin tahu pada diri anak adalah buruknya cara guru mengajar. Si guru tidak memberi anak kesempatan untuk bertanya atau emosi-nya cepat meledak hanya karena pertanyaan anak tentang sesuatu. Keadaan ini membuat anak jenuh dan enggan bertanya lagi.

B. Insting Bongkar Pasang
1. Insting bongkar pasang adalah insting yang mendorong anak untuk membongkar, meneliti dan memecah mainannya untuk melihat apa yang ada di dalamnya dan bagaimana susunan mainan itu, kemudian berusaha untuk memasang dan menyusunnya kembali. Insting ini adalah salah satu tema utama dalam studi ilmiah.
2. Orangtua dan guru hendaknya tidak menghalangi anak membongkar alat-alat mainnya. Jangan takut anak akan jadi perusak! Sebaiknya kita sediakan mainan-mainan yang murah, balok-balok, dan mainan lain yang dapat di bongkar-pasang untuk memuaskan insting anak, sehingga ia tidak mengganggu dan merusak perabot rumah (serta untuk mengurangi kerugian materi).

C. Insting Bersaing
1. Insting bersaing adalah insting yang mendorong anak untuk mencapai tingkat yang mengagumkan dan menjadi yang terbaik. Insting bersaing adalah insting yang mulia. Sama sekali berbeda dengan iri dan dengki. Jika tidak dikelola dengan baik ia memang dapat berubah menjadi iri dan dengki.
2. Para pendidik harus menyebarkan jiwa persahabatan dan keikhlasan di antara anak-anak didik yang bersaing serta membiasakan mereka untuk saling menghormati, bersyukur atas prestasi teman, dan memberi ucapan selamat kepada yang berprestasi.

D Insting Bela Diri
1. Insting bela diri adalah dorongan untuk membela dan melindungi diri. Insting ini akan tampak jelas pada anak yang dimusuhi dan anak yang mainannya di ambil paksa oleh temannya. Insting ini kadang-kadang disertai dengan pertengkaran, gerakan anggota tubuh, berteriak, dan menangis. Insting ini biasanya juga disertai dengan kemarahan. Jika tidak dikendalikan dengan baik, insting ini akan mengarah pada iri dengki dan kebencian.
2. Cara menghadapi anak yang marah adalah jangan dengan marah! Tampakkanlah ketenangan dan pengendalian diri serta upayakanlah suasana atau sikap yang dapat meredakan kemarahan, seperti duduk, berbaring, atau mandi. Bagaimanapun juga, jangan memaksa anak dengan kekerasan untuk menghilangkan marahnya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pendidik. Itu akan membahayakan syarafnya.
3. Dalam keadaan apapun juga, jangan menuruti tuntutan anak yang sedang marah, sehingga ia tahu bahwa tidak ada gunanya marah-marah. Sebaiknya kritik dan nasihat disampaikan bila kemarahannya telah reda, lalu jelaskanlah akibat-akibat buruk yang mungkin terjadi terhadap dirinya dan orang lain. Jika ada orang yang telah kena dampak buruk dari kemarahannya, kita dorong dia untuk meminta maaf.

E. Insting Meniru
1. Insting meniru adalah kecenderungan fitrah dalam diri manusia yang mendorongnya untuk mencontoh perbuatan orang-orang disekitarnya. Perbuatan yang ditiru lama-lama menjadi kebiasaan. Jadi insting meniru juga merupakan sarana penting dalam pendidikan dan pengajaran.
2. Kita wajib menyiapkan lingkungan yang kondusif buat anak-anak kita dengan membuat orang-orang di sekelilingnya, seperti kedua orangtua, saudara, dan teman, sebagai pahlawan dan panutan bagi anak-anak. Anak akan menjadi baik jika orang-orang di sekelilingnya baik.
3. Ali bin Abu thalib r.a mengatakan, “Barangsiapa mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin manusia, hendaklah ia didik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain dan ia didik tingkah lakunya sebelum mendidik lisannya.
4. Umar bin Utbah berpesan pada guru anak-anaknya, “Engkau hendaknya memperbaiki dirimu sendiri sebelum memperbaiki anak-anakku. Kebaikan di mata mereka adalah apa yang engkau perbuat dan keburukan di mata mereka adalah apa yang engkau tinggalkan.
5. Sesuatu yang bergelora dalam diri para pendidik, dalam hal ini perasaan-perasaan mulia, sangat dibutuhkan oleh anak untuk dapat ia rasakan, kemudian ia tiru, misalnya semangat berusaha, membela kebenaran, dan empati dengan kesulitan orang lain. Karena itu alangkah baiknya kita kendalikan emosi kita di hadapan anak, agar jiwanya tetap lurus dan sarafnya tetap sehat. Kita juga harus memilih guru yang berkarakter bagus, bukan guru yang pemurung, pesimis, suka berprasangka buruk, apalagi guru pemarah. Yang kita butuhkan adalah guru yang penuh semangat, murah senyum, ramah, ceria dan kreatif.

Peace, 3us ^_^

PADA DASARNYA SEMUA ANAK ADALAH BAIK By: 3us



Menurut Al Istanbuli (2006) ada beberapa hal yang harus kita ketahui dan pahami mengenai dunia anak, yaitu:
1. Segala sesuatu di dunia ini muncul dari Sang Maha Pencipta dalam keadaan baik. Kebaikan itu kemudian mengalami kerusakan dan distorsi akibat ulah tangan-tangan manusia. Begitu juga dengan anak. Mereka semua terlahir dalam kondisi baik. Apabila kondisi baik itu berubah menjadi buruk, itu juga akibat ulah tangan-tangan manusia yang berada di sekitarnya.
2. Pada diri anak hanya terdapat unsur-unsur kebaikan dan unsur-unsur keburukan. Salah satu dari kedua jenis unsur itu akan muncul lebih dominan sesuai dengan pengaruh lingkungan social, pengaruh lingkungan keluarga, dan pengaruh-pengaruh lain.
3. Anak kecil berbuat buruk karena pikirannya belum dapat membedakan baik dan buruk. Ia belum memahami konsekuensi perbuatannya. Bila ia menyiksa burung kecil dan gembira melihat penderitaan burung tadi, itu karena ia sama sekali belum memahami makna kasih sayang. Ia juga tidak tahu apakah burung tadi kesakitan atau tidak. Adapun segala keburukan yang ia perbuat selanjutnya disebabkan oleh bobroknya pendidikan dan rusaknya masyarakat. Bukti hal ini adalah adanya keburukan tertentu pada sebagian anak dan adanya keburukan lain pada sebagian anak lainnya. Ada anak yang penakut, ada anak yang pemberontak, ada yang pendengki, dan ada yang serakah. Seandainya mereka sudah terlahir dengan perangai buruk, niscaya seluruh perangai buruk mereka akan sama.

 Ingatlah Bahwa Tiap Anak Berbeda!
Seluruh anak tidak bisa diperlakukan sama. Cara berinteraksi dengan anak yang satu tentu berbeda dengan cara interaksi dengan anak lainnya termasuk dalam pendidikan. Cara menangani anak harus disesuaikan dengan tabiat, sifat, usia, dan lingkungannya.
Ada orangtua yang mencela anaknya karena tidak sama dengan anak-anaknya yang lain dari segi bakat dan minat. Mereka lupa bahwa anak tidak selamanya menjadi seperti orangtuanya, tetapi mungkin mereka menyerupai nenek moyangnya.
Mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri anak akan merusak masa depan mereka, karena api kecenderungan dan kepandaian mereka padam. Pengabaian perbedaan terkadang membuat anak kabur dari sekolah karena celaan guru dan teman-teman. Mereka dicela setelah mereka kalah dalam lomba paksaan guru pada bidang yang tidak mereka sukai. Padahal, dengan tidak memaksa, si anak mungkin saja dapat tertarik dan tergerak untuk ikut berlomba setelah melihat teman-temannya.


Bersahabatlah Dengan Anak!
Berikut beberapa poin yang perlu kita cermati sebagai orangtua bila ingin memupuk persahabatan dengan anak:
1. Kita tidak akan bisa bersahabat dengan anak kecuali kita bisa melihat dunia dengan pandangan mata mereka.
2. Anak kecil cenderung mengikuti kemauan diri sendiri dan ia tidak mau bersahabat dengan orang yang berbuat buruk terhadap dirinya. Sedangkan kita cenderung untuk mengabaikan dorongan jiwa anak. Seringkali kita menyamakan anak dengan orang dewasa.
3. Kita tidak akan dapat memperoleh kasih sayang anak jika kita tidak memberi kepercayaan terhadap bakat-bakatnya yang tinggi.
4. Pendidikan anak tidak mungkin benar dan berhasil tanpa mempelajari dan memahami apa yang ada dalam jiwanya
5. Bersahabat dengan anak itu mudah, jika kita memahami rahasia-rahasia insting dan minat anak. Bersahabat dengan anak menjadi amat sulit bagi orang yang mengharapkan anak berfikir dengan akal orang dewasa. Kembalilah pada masa kanak-kanak, ketika berinteraksi dengan anak-anak dan untuk meraih hatinya.
6. Anak-anak pada umumnya, bahkan yang paling bandel dalam pelajaran sekalipun, akan bersemangat dan aktif dalam bermain atau aktivitas mengasyikkan lainnya. Karena itu, kita harus mengenali watak-watak mereka. Jika seorang anak bermasalah di semua aktivitas, anak tersebut lemah kemauan dan memerlukan terapi. Jika ada aktivitas atau pekerjaan yang menarik dan mengasyikkannya, perhatikanlah perkembangan minat khusus ini untuk kemudian diupayakan pengembangan perhatiannya.


Peace, 3us ^_^

PEMBAGIAN KASIH SAYANG SECARA ADIL By 3us



Tentunya ayah dan ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing–masing anak. Mereka berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban demi untuk menyelamatkan anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa, orangtua tidak berhenti membantunya, meski sulit masalahnya atau betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak di masa lalu. Hal ini disebut Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) dengan kondisi unconditional love (cinta tanpa syarat) dari orangtua pada anaknya.
Berbeda dengan cinta orangtua pada anak angkat atau anak orang lain yang dapat lenyap atau berkurang, terutama bila anak melakukan hal–hal yang mengecewakan orangtua (Hawady, 2001). Kondisi ini disebut Rogers dengan conditional love (cinta bersyarat) dari orangtua kepada anaknya. Jangankan dengan anak angkat atau anak orang lain, dengan anak kandung sendiri pun dalam kasus–kasus nyata conditional love terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak.
Memang ada orangtua  yang tidak mencintai anaknya (Hawady, 2001). Disamping itu, ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya, sehingga kemudian mengembalikan anak tersebut atau karena faktor budaya (seperti budaya Jawa) bahkan tidak mengembalikan anak tersebut yang akan semakin berdampak fatal bagi kondisi psikis anak tersebut. Pada umumnya ini terjadi pada kasus adopsi anak dalam budaya jawa. Anak sudah cukup merasa kehilangan kasih sayang dari orangtua kandungnya (terutama ibu) dengan pelaksanaan adopsi terhadap dirinya. Ditambah lagi dirinya harus merasakan kehilangan kasih sayang yang kedua dari keluarga angkatnya (terutama orangtua angkat atau ibu angkat). Dapat dibayangkan betapa pengaruhnya begitu sangat mengkhawatirkan bagi kondisi psikis anak.
Hal ini menurut Hawady, sangatlah tidak sehat bagi perkembangan psikis anak. Menurutnya, setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap hilangnya kasih sayang memiliki reaksi yang sangat drastis. Anak–anak tersebut dapat berubah menjadi anak yang tidak lagi sama dengan anak–anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak perduli dengan perbuatannya, tidak perduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri, dengan kata lain tidak perduli terhadap apapun. Selain dapat berubah menjadi anak nakal yang khas seperti yang dijelaskan oleh Hawady tersebut, anak pun dapat juga menjadi seorang yang sangat penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu (Karso dkk., dalam Yusuf, 2004). Hal ini dapat terjadi lanjut Karso, jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya.
Berhubungan dengan kasus adopsi anak, kasih sayang orangtua angkat yang kemungkinan besar sudah berjenis conditional love pada anak adopsi, akan semakin buruk bila ketika mengadopsi, orangtua angkat telah memiliki anak kandung sendiri. Hal ini akan lebih bermasalah dalam hal pembagian kasih sayang secara adil pada semua anak–anaknya, baik yang kandung maupun yang angkat. Membagi kasih sayang secara adil pada anak–anak kandung saja sudah demikian sulit, apalagi bila dengan anak orang lain seperti anak adopsi. Pembagian kasih sayang ini berhubungan dengan bagaimana pribadi masing–masing anak tersebut dapat disenangi atau lebih cocok dengan harapan orangtua (Hawady, 2001).
Menurut Hawady, bila menyangkut masalah perasaan senang orangtua kepada pribadi masing–masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan perasaan kepada yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki–laki disenangi karena dia laki–laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, yang lain lagi karena keberaniannya, karena kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Perasaan senang itu mempunyai dasar yang berbeda–beda. Tidak mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya mensejajarkan kesenangan berenang dengan kesenangan terhadap otomotif.
Bagi Hawady, tiap anak memiliki karakter sendiri serta sifat–sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter anak–anaknya. Misalnya ada orangtua yang membanggakan anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya ada orangtua yang membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tidak suka terhadap orang lain. Hal ini tidak saja terjadi dalam hubungan antara orangtua dengan anak. Dalam hubungan dengan orang lain pun hal ini diterapkan. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat–sifat yang sangat menarik bagi diri kita, tetapi bagi orang lain sifatnya justru sangat mengganggu. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana perasaan senang, sayang dan cinta tersebut muncul. Apabila yang menonjol adalah sifat yang tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Sebaliknya apabila yang menonjol adalah sifat baik, maka sifat buruknyapun tidak kita rasakan. Hal ini manusiawi.
            Dalam kaitannya dengan hubungan antara orangtua dan anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa: orangtua akan merasa senang apabila anaknya memiliki sesuatu yang diinginkan oleh orangtua. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga bisa dicapainya. Dan ukuran–ukuran ini dimiliki oleh tiap keluarga secara unik, sesuai dengan karakteristik keluarga tersebut (Hawady, 2001).
            Bila disangkut pautkan dengan kondisi anak adopsi, maka orangtua angkat akan mudah untuk memberikan kasih sayangnya, bila anak adopsi mampu menunjukkan sikap–sikap atau sesuatu yang diharapkan atau diinginkan orangtua angkatnya (Hurlock, 1990). Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila hal tersebut tidak terjadi? Bukankah akan berdampak sangat buruk bagi pemenuhan kebutuhan afeksi anak tersebut dikemudian hari? Hal ini akan semakin bertambah parah bila dalam pengadopsiannya, orangtua angkat telah memiliki anak kandung.
Apabila baik anak adopsi maupun anak kandung sama-sama bisa memiliki sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang akan menjadi masalah adalah apabila anak kandung mampu menunjukkan sesuatu yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi tidak, maka hal yang akan terjadi adalah suatu bentuk ketidakadilan dalam pembagian kasih sayang yang disadari maupun tidak atau yang disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak orangtua angkat (Hurlock, 1990).
Lain lagi, bila keadaan berbalik menjadi; anak kandung tidak mampu menunjukkan potensi yang menjadi harapan orangtua angkat sedangkan anak adopsi mampu. Yang akan terjadi adalah permasalahan baru, karena bagaimanapun cinta orangtua akan lebih besar terhadap anak kandungnya sendiri daripada kepada anak adopsi yang bukan berasal dari rahimnya sendiri (seperti pendapat Hawady). Hal ini akan menimbulkan kekecewaan yang lebih mendalam dari pihak orangtua angkat dan perasaan gagal karena menyadari bahwa anak orang lain lebih baik dan lebih mengerti apa yang menjadi harapannya daripada anak sendiri. Disamping itu, dari pihak saudara angkat mungkin saja terjadi kecemburuan dan perasaan iri, karena telah dilampaui oleh orang lain yang bukan saudara kandungnya sendiri, yang menurutnya memiliki kedudukan lebih rendah daripada dirinya yang seorang anak kandung. Kondisi ini dapat terjadi bila status anak adopsi tidak ditutup–tutupi sejak awal pengadopsian baik kepada seluruh anggota keluarga maupun kepada masyarakat sekitar.

Peace, 3us ^_^

TEORI KECEMASAN DASAR (BASIC ANXIETY HORNEY) By 3us


Horney (dalam Hall & Lindzey, 1993) mengemukakan bahwa relasi anak dan orangtua merupakan faktor yang menentukan bagi  perkembangan kepribadian seseorang. Ada dua kebutuhan dasar anak, yaitu: a) Need for satisfaction, yaitu berkaitan dengan kebutuhan biologis untuk tetap bertahan, seperti makan dan minum. b) Need for safety, yaitu berkaitan dengan kebutuhan psikologis, mental, seperti kasih sayang, kehangatan, penerimaan, cinta, dan lain sebagainya.
            Perlakuan orangtua yang penuh dengan afeksi dan kehangatan akan menghasilkan kepribadian yang sehat (healthy personality). Namun, ada pula kondisi–kondisi yang tidak menunjang terhadap pemberian afeksi dan kehangatan, antara lain:
  1. Indifferent parents, yaitu orangtua yang kejam, tidak ada kasih sayang dan kehangatan untuk anak.
  2. Unfair punishment, yaitu orangtua yang tidak adil terhadap anak.
  3. Unkept promises, yaitu orangtua yang tidak pernah menepati janji sehingga anak tidak percaya pada orangtuanya lagi.
  4. Critical parents, yaitu tipe orangtua yang suka mencela anak sehingga anak merasa tidak mampu atau tidak diterima.
  5. No guidance, yaitu tipe orangtua yang tidak pernah mengontrol atau membimbing anak sehingga anak merasa diabaikan
Kondisi–kondisi seperti yang tersebut diatas, apabila dibiarkan maka akan menimbulkan “BASIC HOSTILITY”, yaitu kondisi terjebak pada diri anak antara rasa ketergantungan pada orangtua dan penolakan terhadap orangtua (rasa tidak suka, benci dan marah pada orangtua. Basic Hostility ini akan digeneralisasikan menjadi sikap terhadap lingkungan sosial. Anak akan memandang lingkungan dengan cara yang negatif karena menganggap lingkungan telah menyakiti dirinya. yang kemudian akan memunculkan “BASIC ANXIETY”, yaitu: perasaan–perasaan helpless (tidak berdaya), kekhawatiran (kecemasan) menghadapi lingkungan (hal ini menjadi inti dari teori Horney).
      Menurut Horney, Basic Anxiety adalah hal yang normal, karena anak–anak kecil pada mulanya sedah mempunyai Basic Anxiety ini. Tapi, gejala ini akan menguat bila keluarga tidak memberikan dorongan. Basic Anxiety ini merupakan awal dari neurosis yang bila berkembang terus akan menjadi neurotik (kecemasan, ketakutan terhadap lingkungan yang sangat berlebihan). Namun, menurut Horney, semua itu dapat diperbaiki karena tiap individu pasti memiliki cara untuk mengatasi Basic Anxiety yang dimilikinya. Strategi untuk mengatasinya adalah dengan cara:
  1. Affection and Approval, yaitu usaha untuk mendapatkan kasih sayang dan penerimaan dari orang lain.
  2. Having a partner to take control, yaitu dalam bentuk ketergantungan pada seseorang yang ditandai juga dengan kekhawatiran untuk ditinggalkan. (Pada kasus neurotik akan berkembang menjadi ketergantungan yang berlebihan).
  3. Restricting life within narrow limits, yaitu dilakukan dengan cara membatasi lingkungan hidupnya, tidak banyak memberikan tuntutan, menempatkan diri pada kehidupan yang rutin, menarik diri, cukup puas atas apa yang dimiliki.
  4. Power, yaitu dengan cara mengontrol, mendominasi orang lain.
  5. Exploiting others, yaitu dengan cara memanfaatkan orang lain. Pada kasus neurosis berarti keinginan untuk didengar, untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain. Namun pada individu neurotik diwujudkan dengan sikap memanipulasi orang lain.
  6. Social recognition, yaitu dengan cara berusaha untuk dihormati dalam kaitannya dengan status sosial (prestige), seperti penampilan atau kepemilikan materi.
  7. Personal admiration, yaitu cara yang dilakukan agar dikagumi dan dihormati orang lain dalam kaitannya dengan kualitas pribadi, seperti kemampuan berfikir, menunjukkan ide–ide yang dimiliki, dan lain sebagainya.
  8. Personal ambition, yaitu berusaha dengan sangat keras untuk dapat mencapai sesuatu setinggi–tingginya, menghindari kegagalan. Pada individu neurotik muncul keinginan ingin selalu menjadi yang terbaik (the best). Sedangkan pada individu neurosis tampil dalam bentuk berusaha untuk menjadi lebih baik.
  9. Self sufficiency (pemenuhan kebutuhan diri) & independence, yaitu bersikap dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri dan tidak membutuhkan orang lain (independen). Menjaga jarak dengan orang lain, tidak ingin membuat komitmen. Pada individu neurotik, merasa tidak perlu orang lain, mengisolir diri.
  10. Perfection and unassailability, yaitu selalu ingin tampil sempurna. Berusaha menjaga moral, menjaga kesempurnaan diri. Pada individu neurotik, adanya ketakutan untuk tidak sempurna.
Peace, 3us ^_^

BELAJAR SOSIAL (BANDURA THEORY) By: 3us


Bandura berpendapat (dalam Prihanto, 1994) bahwa manusia berbeda dengan binatang. Manusia dapat berfikir atau mempunyai tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi dibandingkan binatang. Seperti pendapat para tokoh behaviorisme lainnya, Bandura sependapat bahwa faktor lingkungan sangat penting dalam pembentukan perilaku maupun kepribadian individu. Bandura juga sependapat bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku akan mempengaruhi pembentukan perilaku. Akibat yang menyenangkan akan menyebabkan diulanginya perilaku tertentu yang menyebabkan akibat itu, sebaliknya akibat yang tidak menyenangkan akan menyebabkan dihentikannya perilaku tersebut. Namun, Bandura berpendapat agak lain tentang cara diperolehnya perilaku tersebut. Dalam teori–teori Pavlov, Thorndike, Watson ataupun Skinner disebutkan bahwa manusia harus mencoba dahulu sampai ditemukan perilaku yang tepat. Sedangkan menurut Bandura tidaklah demikian.
            Bagi Bandura, kelebihan manusia dalam kemampuan berfikir dan membayangkan ke depan, menyebabkan manusia tidak harus melakukannya sendiri. Ia tidak harus mencoba–coba sendiri tentang perilaku yang tepat. Ia bisa berfikir jangka panjang ke depan. Manusia bisa belajar dari pengalaman orang lain. Jika ia berbuat hal yang sama dengan perilaku orang lain, maka ia akan memperoleh hasil atau akibat dari perilaku yang sama. Sehingga, manusia cukup meniru. Karena itu teori Bandura sering disebut dengan istlah Modelling Theory atau belajar model.
            Belajar model didefinisikan Bandura sebagai proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks. Menurut “Teori Sosial Mengenai Belajar” (Social learning theory), maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan hanya “melihat” saja (Bandura dan Walters dalam Monks dkk., 2001).

Kamis, 17 Januari 2013

TINGKAH LAKU LEKAT (ATTACHMENT BEHAVIOUR) By 3us


Tingkah laku lekat (attachment behavior) merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang lain tersebut (Monks dkk., 2001).
            Menurut Monks dkk., pada kelekatan maka pemenuhan keinginan bukanlah merupakan hal yang pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Berbeda dengan kelekatan, ketergantungan dapat ditujukan pada sembarang orang, namun kelekatan selalu tertuju pada orang–orang tertentu saja. Tingkah laku lekat lanjut Monks dkk., pada anak kecil dapat dilihat sebagai berikut: menangis bila obyek lekatnya pergi, senang dan tertawa bila obyek lekatnya kembali, kemudian juga mengikuti dengan mata, arah menghilangnya obyek lekat tersebut. Tingkah laku lekat ini berkembang di tahun – tahun pertama usia anak (Monks dkk., 2001).

1 Munculnya tingkah laku lekat
            Ada beberapa pendapat mengenai timbulnya tingkah laku lekat (Monks dkk., 2001), yaitu adalah sebagai berikut:

a. Hipotesis mengenai nafsu sekunder
            Pendapat ini mengatakan bahwa ketergantungan sosial terjadi karena ketergantungan fisik melalui proses belajar; misalnya bila nafsu primer anak selalu terpenuhi oleh orang tertentu atau bila dekat dengan orang tersebut, maka orang tertentu itu akan memperoleh nilai positif bagi anak dan terjadilah pada anak nafsu sekunder terhadap orang tertentu itu, yaitu orang yang mengasuhnya. Anak kemudian akan melekatkan dirinya pada orang yang mengasuhnya tersebut.

b. Keterangan kedua memiliki sifat kognitif persepsual
            Anak merasa tertarik pada seseorang karena sifat–sifat persepsualnya atau sifat–sifat yang dapat dilihat pada anak. Pada mulanya, roman wajah manusia memiliki daya tarik yang alami bagi anak. Bila anak seringkali melihat orang tertentu, maka anak akan mengenal sifat–sifat khusus orang tertentu itu. Bila orang tersebut ada di dekat anak, maka anak akan merasa aman. Bila ada orang asing datang, maka anak akan mengetahui perbedaannya antara orang asing dengan orang yang telah dikenalnya sebelumnya. Anak akan bersikap negatif terhadap orang yang asing tersebut. Dalam hal ini kelekatan diterangkan oleh proses belajar pengamatan. Pengamatan berulang–ulang terhadap orang–orang tertentu menimbulkan kelekatan.

2 Control theory of attachment (Bowlby)
            Bowlby berpendapat bahwa timbulnya kelekatan anak terhadap figur lekat (biasanya ibu) adalah suatu akibat dari aktifnya suatu sistem tingkah laku (behavioral system) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu (Bowlby dalam Monks dkk, 2001). Bowlby mengatakan, jika anak ditinggalkan ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tadi segera menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh suara, penampilan, atau rabaan ibu. Kebutuhan anak untuk melekatkan diri, mengikuti, menangis dan tertawa juga merupakan hal–hal penyebab timbulnya tingkah laku lekat anak. Tetapi, apa yang dimaksudkan dengan sistem tingkah laku adalah lebih dari itu.
            Menurut Bowlby, sistem tingkah laku adalah suatu kumpulan tingkah laku yang lebih kompleks dan bertujuan, yang timbul antara bulan ke-9 dan ke-18 usia anak. Sistem tingkah laku ini berkembang karena interaksi anak dengan lingkungannya, terutama dengan ibu. Berdasarkan hal ini, maka menurut Bowlby tingkah laku lekat tadi termasuk kelompok tingkah laku sosial. Sehingga tingkah laku lekat sebagai akibat dari aktifnya suatu sistem tingkah laku disebut control theory of attachment behavior.

PERIODE EMAS DALAM PERKEMBANGAN ANAK (GOLDEN YEARS) By 3us



 Tahun–tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis. Tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial berjalan demikian cepatnya sehingga keberhasilan–keberhasilan tahun–tahun pertama sangat menentukan hari depan anak (Hurlock, 1990).
            Menurut Hurlock, Periode  pranatal dan balita adalah yang dimaksud dengan periode emas (golden years) atau disebut juga periode kritis. Apabila lingkungan menunjang, maka anak tersebut akan mulus melalui periode kritis ini dan ia bahkan mendapatkan nilai tambah, namun sebaliknya apabila lingkungannya tidak mendukung, maka tumbuh kembang anak akan terhambat.
            Dengan berpandangan secara prospektif positif dapatlah dikatakan bahwa periode kritis ini merupakan masa atau tahun–tahun keemasan dan dengan demikian sudah selayaknya dimanfaatkan secara maksimal, ia memberi peluang untuk optimalisasi tumbuh kembang serta peluang untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian hambatan dan penyimpangan tumbuh kembang pada periode kritis ini perlu dideteksi dan diintervensi secara dini agar kerusakan yang telah terjadi masih berpeluang untuk diperbaiki.
            Dalam hubungannya dengan kasus adopsi pada anak, maka dapat dipahami bagaimana pengaruh psikis pada anak apabila anak harus dipisahkan dari orangtuanya di masa–masa periode emas ini. Dalam kondisi ini, anak pun harus dihadapkan pada situasi sulit dimana dirinya kehilangan figur kasih sayang dan pelindungnya, sedangkan yang dia hadapi selanjutnya adalah wajah–wajah orang yang sama sekali asing baginya, yang tidak tahu apakah dapat dijadikan sandaran bagi kebutuhan–kebutuhannya akan kasih sayang dan perlindungan. Akhirnya yang ada adalah kecemasan–kecemasan, rasa takut, frustasi dan sesuai teori diatas, maka akan berdampak sangat buruk bagi keoptimalan psikologis anak, yang dalam hal ini adalah mengenai konsep dirinya.

Peace, 3us ^_^

PERAN PENTING IBU BAGI TUMBUH KEMBANG ANAK ADOPSI By 3us



Rutter (dalam Monks dkk., 2001) mengemukakan bahwa, Bowlby mengajukan dua macam kesimpulan yang penting, yaitu:
  1. Bahwa perawatan anak yang ada di yayasan (tidak diasuh ibu sendiri) sangat tidak baik, yaitu bahwa mereka lebih dipandang sebagai makhluk biologis daripada sebagai makhluk psikologis dan sosial yang berperasaan.
  2. Bahwa kasih sayang ibu sangat penting bagi perkembangan psikis anak yang sehat. Sama pentingnya seperti halnya vitamin dan protein bagi perkembangan biologis.

Berdasarkan hal tersebut, Rutter mencoba untuk menunjukkan bahwa kasih sayang ibu merupakan suatu syarat yang tidak bisa tiada untuk menjamin suatu perkembangan psikis anak yang sehat. Namun, Ruter menambahkan, bahwa pemberian kasih sayang ini tidak harus berasal dari seorang ibu biologis, melainkan dapat pula dari orang–orang lain. Misalnya dari ayah, nenek, kakak atau orang asing pengganti ibu. Yang penting di sini adalah bahwa anak dapat mengembangkan tingkah laku lekat (attachment) pada seseorang tertentu. Inilah yang penting. Bukan ibu biologis yang penting, melainkan seseorang tertentu yang dapat dikenakan tingkah laku lekat oleh anak, yang menerima anak, yang memenuhi kebutuhan anak untuk melekatkan diri pada seseorang tertentu.
Berkaitan dengan topik pembahasan, maka seorang anak adopsi dimungkinkan untuk berkembang secara optimal bila pihak–pihak pengganti orangtua kandung atau ibu kandungnya (keluarga angkat) mampu memberikan afeksi yang cukup pada anak sehingga anak dapat mengembangkan attachment pada keluarga angkat sebagai pengganti kedudukan keluarga kandung.

Peace, 3us ^_^

GAYA PENGASUHAN ORANGTUA (Parenting Style) By 3us


Baumrind (dalam Yusuf, 2004) mengemukakan hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa taman kanak–kanak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya perlakuan orangtua (parenting style) dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual siswa, yaitu sebagai berikut:

1. Authoritarian.

            Sikap atau perilaku orangtua yang ditampilkan dalam gaya ini adalah: a) sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi, b) suka menghukum secara fisik, c) bersikap mengomando/mengharuskan dan memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, d) bersikap kaku/keras, e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
            Profil perilaku anak yang ditampilkan sebagai dampak dilakukannya gaya pengasuhan ini adalah: a) mudah tersinggung, b) penakut, c) pemurung, tidak bahagia, d) mudah terpengaruh, e) mudah stres, f) tidak memiliki arah masa depan yang jelas, g) tidak bersahabat.

2. Permissive.
            Sikap atau perilaku orangtua yang ditampilkan adalah: a) sikap acceptance yang tinggi namun kontrol rendah, b) memberi kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya.
            Profil perilaku anak yang ditampilkan: a) bersikap impulsif dan agresif, b) suka memberontak, c) kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri, d) suka mendominasi, e) tidak jelas arah hidupnya, f) prestasinya rendah.

3. Authoritative.

            Sikap atau perilaku orangtua yang ditampilkan adalah: a) sikap acceptance dan kontrol yang tinggi, b) bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, c) mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, d) memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
            Profil perilaku anak yang ditampilkan adalah: a) bersikap bersahabat, b) memiliki rasa percaya diri, c) mampu mengendalikan diri (self control), d) bersikap sopan, e)mau bekerja sama, f) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, g) mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, h) berorientasi terhadap prestasi.
            Selanjutnya Baumrind mengemukakan tentang dampak parenting styles terhadap perilaku remaja, yaitu: 1) remaja dengan orangtua authoritarian, cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak, 2) remaja dengan orangtua permissive, cenderung berperilaku bebas (tidak terkontrol), dan 3) remaja dengan orangtua authoritative, cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan atau perilaku nakal.

THE EFFECTIVE PARENTING
            Mengkaji hal yang sama, Weiten dan Lioyd (dalam Yusuf, 2004) mengemukakan lima prinsip effective parenting (perlakuan orangtua yang efektif), yaitu:
1. Menyusun/membuat standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal ini anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
2. Menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orangtua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.
3. Menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.
4. Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain.
5. Menegakkan aturan secara konsisten 

Peace, 3us ^_^

PERAN KELUARGA By 3us



Covey (dalam Yusuf, 2004) mengajukan empat prinsip peran keluarga, yaitu:
  1. Modelling (example of trustworthness). Orangtua adalah contoh atau model bagi anak.
  2. Mentoring. Yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur, pribadi dan tidak bersyarat.  Orangtua menjadi sumber pertama bagi perkembangan perasaan anak: rasa aman atau tidak aman, rasa benci atau tidak benci.
  3. Organizing. Yaitu keluarga seharusnya mampu mengatur, menyusun sistem dalam keluarga yang baik agar dapat menyelesaikan hal–hal yang menghambat keutuhan keluarga.
  4. Teaching. Orangtua adalah guru bagi anak–anaknya, tentang hukum–hukum dasar kehidupan. Bila cara orangtua mendidik tidak benar, maka akan mempengaruhi bagaimana perkembangan anak tersebut nantinya.
Peace, 3us ^_^

KELUARGA FUNGSIONAL & DISFUNGSIONAL By 3us


A. Pengertian Keluarga
            Menurut Salim (1991) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian keluarga adalah suatu kelompok dalam masyarakat, berisikan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat mendasar. Sedangkan menurut Goldenberg (1985) keluarga didefinisikan secara lebih terinci, yaitu bukan hanya sekedar sekumpulan individu-individu yang menempati ruang secara fisik dan psikologis bersama, namun lebih daripada itu keluarga adalah suatu sistem sosial natural untuk mengembangkan aturan, peran, struktur kekuatan, bentuk-bentuk komunikasi dan cara negosiasi serta problem solving yang diwujudkan dengan adanya berbagai macam tugas untuk ditampilkan secara efektif.

B. Keluarga Fungsional dan Disfungsional
            Menurut Yusuf (2004) keluarga yang fungsional ditandai dengan karakteristik:
  1. Saling memperhatikan dan mencintai
  2. Bersikap terbuka dan jujur
  3. Adanya orangtua sebagai pendengar yang baik. Dapat menerima perasaan anak dan menghargai pendapat anak.
  4. Terbukanya ruang untuk berdiskusi (musyawarah), mengeluarkan pendapat diantara tiap anggota keluarga.
  5. Mampu berjuang untuk mengatasi masalah hidup.
  6. Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi.
  7. Orangtua mengayomi atau melindungi anak.
  8. Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik.
  9. Keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai–nilai budaya, serta
  10. Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Apabila dalam suatu keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi–fungsi seperti yang telah diuraikan diatas, maka menurut Schneiders (dalam Yusuf, 2004) keluarga tersebut mengalami stagnasi (kemandegan) atau disfungsi yang pada gilirannya akan merusak kekokohan keluarga tersebut, khususnya pada perkembangan kepribadian anak.
Sedangkan ciri–ciri  keluarga yang disfungsional tersebut oleh Hawari (dalam Yusuf, 2004) ditandai dengan karakteristik:
  1. Adanya kematian salah satu atau kedua orangtuanya
  2. Kedua orangtua berpisah atau bercerai (divorce)
  3. Hubungan kedua orangtua tidak baik (poor marriage)
  4. Hubungan orangtua dengan anak tidak baik (poor parent–child relationship)
  5. Suasana rumah tangga yang tegang dan tanpa kehangatan (high tension and low warmth)
  6. Orangtua sibuk dan jarang berada di rumah (parent’s absence)
  7. Salah satu atau kedua orangtua memiliki kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder)
Peace, 3us ^_^

PENTINGNYA MEMAHAMI PERKEMBANGAN ANAK BAGI KELUARGA DENGAN ANAK ADOPSI By 3us


Dalam upaya mendidik atau membimbing anak agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin, maka bagi para pendidik, orangtua atau siapa saja yang berkepentingan dalam pendidikan anak, perlu dan dianjurkan untuk memahami perkembangan anak. Terlebih lagi bagi para orangtua yang berkeinginan untuk mengadopsi anak, maka pengetahuan tentang tumbuh kembang anak perlu menjadi perhatian khusus dan menjadi pertimbangan sebelum memutuskan melakukan pengadopsian anak. Pemahaman tersebut penting, karena beberapa alasan berikut (Yusuf, 2004):
  1. Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan
  2. Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya
  3. Pengetahuan tentang perkembangan anak dapat membantu mereka mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya
  4. Melalui pemahaman tentang faktor–faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Di samping itu, dapat diantisipasi juga tentang upaya untuk mencegah berbagai kendala atau faktor–faktor yang mungkin akan mengkontaminasi (meracuni) perkembangan anak.

Kehidupan anak kini dilihat sebagai suatu fase tersendiri. Suatu fase hidup yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan yang membutuhkan tempat bagi perkembangannya. Anak merupakan bagian dari keluarga. Keluarga yang berkewajiban untuk memberikan pendidikan, norma–norma, kesempatan untuk belajar tingkah laku dan motif–motif yang penting untuk berkembang dan berfungsi baik dalam kehidupan bersama.
            Shorter (dalam Monks dkk., 2001) menunjukkan bahwa fungsi atau peran keluarga masih total dibutuhkan oleh anak kecil dan anak pada masa sekolah. Sedangkan mulai masa remaja hingga seterusnya, lebih banyak dan makin banyak dipengaruhi oleh peer group atau teman sebaya. Pengaruh peer group ini mungkin lebih nampak pada waktu sekarang daripada waktu dulu, meskipun hal ini tidak berlaku  bagi semua aspek tingkah laku.
Demikian halnya dengan kehidupan anak adopsi. Keluarga angkat masih tetap merupakan bagian terpenting dalam pembentukan psikis anak untuk memperoleh pengasuhan yang cukup dengan afeksi, kasih sayang dan penerimaan dari seluruh anggota keluarga barunya. Bila anak adopsi mendapatkan penerimaan, memperoleh kehangatan dari keluarga barunya, maka akan berpengaruh sangat positif bagi perkembangannya yang sehat. Anak akan menemukan dan mengembangkan kemampuannya sehingga terciptalah suatu penerimaan diri, nilai diri atau konsep diri yang baik.

Peace, 3us ^_^

HUKUM DALAM ADOPSI KERABAT By 3us



              Dalam prakteknya, menurut Joenarso (2005) sebenarnya pihak pengadilan memberi keleluasaan kepada calon orangtua angkat untuk memilih hukum adat atau hukum positif (hukum negara) yang bersumber pada hukum Burgelijk Weetbook (BW). Bila pemohon memilih hukum adat seperti yang terjadi pada praktek adopsi dalam budaya tertentu, biasanya proses pengadopsiannya dilakukan secara adat dahulu secara pribadi tanpa melibatkan pengadilan, baru pengukuhannya dilakukan di pengadilan.
            Di pengadilan lanjut Joenarso lagi,  sifatnya hanya pengukuhan atau bersifat deklaratif. Berdasarkan hal itu menurutnya, isi amar (perintah)  putusan nantinya disebutkan “Menyatakan sah pengadopsian anak oleh A atas anak B”. Joenarso menambahkan, arti penting dari adanya penetapan pengadilan adalah sebagai alat pembuktian bila nantinya terjadi persengketaan secara hukum, sehingga pengukuhan tersebut memiliki kekuatan hukum dalam negara.
            Berbeda dengan praktek adopsi yang terjadi di Indonesia khususnya adopsi kerabat, maka dalam budaya jawa secara adat pun proses pengadopsian tidak dibuat jelas. Hal ini dikarenakan tidak dilakukannya upacara adat yang mengundang masyarakat sebagai sarana penginformasian dan pembuktian terjadinya proses pengadopsian terhadap anak adopsi. Padahal hukum di negara kita menyediakan ruang bagi masyarakat yang menjalankan proses pengadopsian agar dapat meminimalkan permasalahan yang kemungkinan terjadi selama pengadopsian. Berdasarkan hal ini tentunya akan sangat wajar bila dari permukaannya dapat dinilai bahwa adopsi yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah akan rentan sekali terhadap munculnya permasalahan, terutama bagi masa depan anak yang diadopsi.
            Sebagai tambahan, saya paparkan syarat–syarat pengadopsian anak menurut hukum adat di daerah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam bukunya, “Penelitian Hukum Adat tentang Warisan” (dalam Martosedono, 1990). Syarat – syarat tersebut meliputi:
  1. Sebelumnya harus ada kata sepakat dari keluarga atau saudara laki–laki calon ayah angkat. Persetujuan dari keluarga ayah angkat ini diperlukan karena menyangkut nama keluarga yang akan disandang oleh calon anak adopsi dan demi kesejahteraan bersama.
  2. Harus ada kata sepakat dari pihak yang melepaskan dan pihak yang menerima anak tersebut.
  3. Pihak yang melepaskan dan pihak yang menerima harus menghadap Pengadilan Negeri untuk memberikan pernyataan atas maksud untuk melakukan pengadopsian tersebut
Peace, 3us ^_^

ADOPSI ANAK DI JAWA (ADOPSI KERABAT) By 3us


Pelaksanan adopsi anak dalam budaya Jawa memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan budaya–budaya lain di Indonesia. Seperti misalnya masalah kedudukan anak adopsi dalam keluarga angkat. Di Jawa, pengadopsian anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak adopsi dengan orangtua kandungnya (Martosedono,1990), sehingga anak adopsi pada umumnya tidak berkedudukan sebagai anak kandung atau tidak diberi status anak kandung oleh keluarga angkatnya. Kedudukan sebagai anak kandung yang tidak dimiliki anak adopsi dalam budaya jawa ini dalam hal meneruskan keturunan dari pihak ayah angkatnya, namun walaupun demikian anak adopsi tetap menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya tetapi hanya terbatas atau tidak penuh hak warisnya. 
Kondisi ini akan membuat permasalahan yang muncul menjadi lebih sulit diatasi karena pelaksanaan adopsi di Jawa itu tidak dibuat jelas. Artinya, proses adopsi tidak dengan mengadakan upacara keagamaan atau disaksikan oleh masyarakat.
            Di Jawa, yang diambil sebagai anak adopsi biasanya keponakannya sendiri atau anak dari saudara (kerabat) sendiri (Martosedono, 1990). Maka dari itu muncul lagi istilah adopsi yang baru yaitu: Adopsi kerabat / Adopsi sanak saudara (Anglingsari & Selamihardja, 2000).  Pada kasus adopsi kerabat pada umumnya anak adopsi diambil dari sanak saudara yang kurang mampu atau yang tingkat sosial ekonominya lebih rendah daripada keluarga angkat. Adopsi kerabat di Jawa ini muncul terkait dengan karakteristik budaya jawa itu sendiri.


B. BUDAYA JAWA DALAM ADOPSI KERABAT

Cita–cita masyarakat jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang selaras. Tugas moral pribadi jawa adalah menjaga keselarasan tersebut dengan cara menjalankan kewajiban–kewajiban sosial, yaitu hubungan antara orang–orang, dan hubungan–hubungan sosial itu tidak sama, melainkan hirarkis (Mulder, 1986). Artinya, dalam masyarakat jawa hubungan sosial itu tidak sama rata. Siapa yang berpangkat harus memelihara bawahannya, sedangkan orang yang sama pangkatnya harus bertindak sama, harus solider.